TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan butuh transisi untuk menjalankan aturan baru Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Aturan itu menyebut dana BPJS baru bisa dicairkan penuh setelah usia pekerja 56 tahun.
"Lagi transisi dulu sebulan untuk dibahas bagaimana baiknya," ujar JK usai berbuka puasa di Jakarta Convention Center, Kamis, 2 Juli 2015. Peraturan itu mulai berlaku per 1 Juli dan menimbulkan polemik di kalangan pengusaha dan pekerja.
Sebelumnya, BPJS Ketenagakerjaan menyatakan bahwa sesuai UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 37 Ayat 1-5, berkenaan dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang keluar pada Juli 2015, maka untuk ketentuan program Jaminan Hari Tua berlaku untuk masa kepesertaan 10 tahun.
Bagi yang sudah bekerja 10 tahun, mereka bisa mengambil 10 persen dananya untuk keperluan mereka. Pilihan lainnya adalah pencairan dana 30 persen untuk keperluan perumahan. Dana baru bisa diambil jika pekerja sudah berusia 56 tahun.
Sebaliknya, jika pekerja baru bekerja kurang dari 10 tahun, dia tak dapat mengambil dananya. Pekerja tersebut harus menunggu hingga berusia 56 tahun. THT BPJS ini dulu dikenal dengan Jamsostek, kepanjangan dari Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Menurut Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, patokan lima tahun masa kerja yang ditetapkan oleh Jamsostek didasarkan pada kondisi ekonomi saat itu. Dengan terbitnya peraturan pemerintah yang baru, beleid yang lama tak berlaku lagi.
Hanif meminta masyarakat menyadari bahwa upaya pemerintah dilakukan demi mensejahterakan rakyatnya. Dia mencontohkannya dengan analogi tunjangan hari raya. Jika THR dibayar dua bulan sebelum Lebaran, maka saat hari raya bisa dipastikan uang mereka akan habis. Hal ini berbeda ketika THR diberikan sepekan sebelum Lebaran.
Di tempat terpisah, Gerakan Buruh Indonesia (GBI) mengancam mogok kerja secara nasional setelah hari raya untuk mendesak pemerintah merubah peraturan THT BPJS itu. Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, aturan Jaminan Pensiun dan JHT yang baru tidak layak bagi kesejahteraan buruh.
Apabila mengacu pada besaran iuran 3 persen, kata Iqbal, maka manfaat yang akan diterima buruh nantinya sekitar Rp 3,4 juta untuk yang tertinggi dan Rp 300 ribu untuk yang terendah. "Angka tersebut dinilai sangat tidak layak."
TIKA PRIMANDARI | FAIZ NASHRILLAH | NIBRAS NADA NAILUFAR