TEMPO.CO, Jakarta - Sersan Dua Syamsir Wanto, 35 tahun, bersikap aneh sebelum pesawat Hercules C-130 yang ditumpanginya jatuh di Medan, Selasa, 30 Juni 2015. Saat masih berada di rumah mertuanya pada Minggu, 28 Juni 2015, Syamsir, salah satu korban yang tewas, lebih banyak murung.
"Biasanya periang," kata Edi Sujono, 64 tahun, ayah mertua Syamsir, saat ditemui di rumahnya di Jalan Borobudur, Kelurahan Madiun Lor, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun, Jawa Timur, Rabu, 1 Juli 2015.
Sikap Syamsir yang di luar kebiasaan, Edi melanjutkan, berlangsung hingga Minggu malam. Syamsir yang bertugas di Depo 60 Pangkalan Udara (Lanud) Iswahjudi, Magetan, itu lebih banyak memandangi kedua anaknya, yaitu Destasha Gabriela Putri Syam, 6 tahun, dan Ananda Rizki Putra Syam, 5 tahun.
Hal ini, kata Edi, juga terlihat saat kedua anaknya makan mi goreng yang dibeli bersama di Jalan Yos Sudarso, Kota Madiun. Saat itu Edi memperhatikan menantunya berulang kali menatap sang istri, Anata Kumala Wardani, 35 tahun, yang duduk di depannya dengan tatapan tajam. "Setelah anaknya makan mi goreng, Syamsir berangkat ke Lanud Abdurahman Saleh, Malang, dengan menumpang kereta api," ucap pria sepuh itu.
Kepergian Syamsir ke Malang untuk mengirim amunisi menggunakan pesawat Hercules C-130. Selasa pagi, 30 Juni 2015, sekitar pukul 11.15 WIB, Syamsir menghubungi istrinya dan menyampaikan bahwa dia sedang transit di Medan dan hendak berangkat ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Dia juga berbicara dengan kedua anaknya. "Anaknya yang cewek minta dibelikan boneka, dan kepada anaknya yang laki-laki, Syamsir bilang akan pulang hari Minggu besok," ujar Edi.
Namun keinginan anak dan keluarga untuk kembali berkumpul dengan Syamsir pupus. Pria asli Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, itu menjadi korban tewas akibat jatuhnya pesawat Hercules C-130. Kini, pihak keluarga berharap jenazah Syamsir segera tiba di rumah duka untuk dimakamkan di Madiun. "Inginnya seperti itu," tutur Tri Warsini, ibu mertua Syamsir, sembari menahan air mata.
NOFIKA DIAN NUGROHO