TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly mengatakan dorongan untuk merevisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi bermula saat membahas Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang KPK. Menurut dia, saat itu Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi hukum protes syarat umum dan latar belakang dari tiga pelaksana tugas pimpinan KPK yang diajukan Presiden Joko Widodo.
"Kami bilang okelah. Kalau DPR mau mengajukan silakan saja. Karena kami takut nanti berlama-lama. Perpu tidak berlaku, tiga orang pimpinan tidak jadi dan bisa fatal ke pemberantasan korupsi," ujar Laoly di kantornya, Kamis, 25 Juni 2015. Laoly menegaskan revisi Undang-Undang KPK tak akan terjadi dalam waktu dekat karena belum ada draft-nya. "Barangnya tidak ada."
Laoly berkelit saat ditegaskan Jokowi sudah menolak revisi undang-undang, namun dia malah mendorong masuk prioritas program legislasi nasional 2015. "Prolegnas kan daftar keinginan DPR mengajukan revisi. Naskah akademik belum ada apalagi pasal-pasalnya," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Laoly balik bertanya saat dikonfirmasi ihwal tindakannya tersebut melanggar Pasal 20 Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2014. Sejumlah pegiat antikorupsi menuduh Laoly melangkahi Presiden Jokowi. "Apa itu?" tanya Laoly.
Dalam Pasal 20 disebutkan bahwa menteri menyampaikan hasil penyusunan Prolegnas prioritas tahunan kepada presiden untuk mendapatkan persetujuan. Dalam hal Prolegnas tahunan sebagaimana dimaksud tersebut mendapatkan persetujuan Presiden, menteri menyampaikan Prolegnas tersebut kepada DPR melalui Badan Legislasi. Dalam hal ini, Jokowi tak ingin revisi UU KPK masuk Prolegnas. Namun, Laoly menyetujui revisi UU KPK masuk Prolegnas prioritas dalam rapat dengan Badan Legislasi DPR.
Menurut dia, revisi undang-undang KPK sudah diputuskan di Paripurna. "Dan kalian nanti lihat Prolegnas, lihat urutan nomor 63, revisi UU KPK, itu pengusul siapa? DPR," kata Laoly.
Karena itu, bila nantinya DPR ngotot mengajukan revisi undang-undang nomor 30 tahun 2002 itu, Laoly mempersilakan. Menurut dia, dalam UUD 1945 mengatur bahwa revisi undang-undang dibahas bersama DPR dan Presiden. Dia merujuk dalam Pasal 21 bahwa DPR mempunyai hak insiatif mengajukan rencana UU. "Kalau presiden menolak, ya tidak jalan dong. Nggak bisa," ujarnya.
Mekanisme revisi pun masih panjang. "Ini Belanda masih jauh ceritanya," kata Laoly sembari tertawa. Nantinya, ujar dia, setelah prolegnas, DPR akan membentuk badan kelengkapan untuk membahasnya. Mereka harus membuat draft revisi. Prosesnya, tim tersebut harus pergi ke daerah serta mendengar masukan pakar. Kalau nanti badan kelengkapan sudah selesai, kata Laoly, baru diajukan ke paripurna. "Kalau sudah disahkan, baru jadi inisiatif DPR."
Dalam sidang paripurna DPR pada Selasa lalu, Badan Legislatif melaporkan revisi UU KPK menjadi prioritas Prolegnas 2015. Baleg mengklaim UU yang memang masuk Prolegnas 2015-2019 itu dipercepat atas dorongan Menteri Hukum. Semua fraksi menyetujuinya.
Secara garis besar ada lima isu krusial yang akan dimasukkan oleh DPR dalam naskah Revisi UU KPK. Isu tersebut yakni pembatasan kewenangan penyadapan, pembentukan dewan pengawas KPK, penghapusan kewenangan penuntutan, pengetatan rumusan kolektif-kolegial, dan pengaturan terkait Pelaksana tugas Pimpinan jika berhalangan hadir.
LINDA TRIANITA