TEMPO.CO, Malang - Sekitar 1.500 orang tenaga kerja Indonesia (TKI) di Hong Kong telah melebihi batas izin tinggal alias overstayer. Masa berlaku visa kerja selama dua tahun telah berakhir.
Para TKI yang didominasi tenaga kerja wanita (TKW) itu umumnya memiliki izin tinggal di Hong Kong sesuai dengan visa kerja. Lamanya masa tinggal pekerja asing di sana biasanya dua tahun seperti periode kontrak kerja. Ketika kontrak kerja berakhir, buruh migran masih punya waktu 14 hari untuk tinggal di Hong Kong dan harus meninggalkan Hong Kong setelah masa dua pekan berakhir kecuali yang bersangkutan mendapatkan visa kerja baru karena mendapat majikan baru.
Namun, mayoritas TKI ogah pulang ke Tanah Air. Mereka kemudian bersiasat mendapatkan recognition paper, semacam surat izin tinggal sementara pengganti paspor yang diterbitkan Departemen Imigrasi Hong Kong, dengan cara mengajukan diri sebagai pengungsi. Pemberian recognition paper harus melalui keputusan pengadilan setempat.
Pengajuan recognition paper mensyaratkan TKI untuk menyerahkan paspor secara sadar dan sengaja ke pemerintah Hong Kong. Recognition paper merupakan celah hukum yang biasanya ditempuh buruh migran asing di Hong Kong.
“Pemegang recognition paper mengharapkan negara ketiga untuk menampung mereka. Dengan pengakuan recognition paper, sebenarnya mereka sudah jadi warga negara Hong Kong,” kata Agustaf Illias, Staf Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong, di Malang pada Rabu dinihari, 24 Juni 2015.
Ditemani Staf Kementerian Luar Negeri Devi Melissa Silalahi, Agustaf menyerahkan jenazah menyerahkan jenazah Wiji Astutik kepada keluarganya di RT 04 RW 01, Dusun Krajan, Desa Wonokerto, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Wiji Astutik, 37 tahun, adalah TKW yang ditemukan tewas dalam gulungan kasur di sebuah emperan toko di Changsha Street, Mong Kok, Distrik Yau Tsim Mong, pada 8 Juni lalu.
Wiji sendiri mendapat recognition paper pada 2008. Berbekal recognition paper buruh migran asing seperti Wiji boleh tinggal di Hong Kong tanpa paspor layaknya penduduk asli Hong Kong. Namun mereka tidak boleh bekerja di sektor apa pun. Sebagai gantinya, pemerintah Hong Kong memberi subsidi kebutuhan hidup sebesar HKD 1.200 atau setara Rp 2 juta per bulan.
“Pemegang recognition paper sudah berarti bukan WNI lagi karena mereka sudah melepas paspornya ke Imigrasi Hong Kong secara sadar dan sengaja. Tapi kami tak bisa memaksa mereka pulang karena bisa dianggap melanggar HAM (hak asasi manusia) kecuali mereka melapor ke kami dan meminta dipulangkan,” ujar Agustaf.
ABDI PURMONO