TEMPO.CO, Jakarta – Pelaksana tugas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki mengakui lembaganya tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah revisi Undang-Undang KPK. Namun Ruki mengingatkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat draf revisi yang isinya tak melemahkan KPK.
"Kalau itu sudah menjadi keputusan politik, yang harus dilakukan adalah menyiapkan draf revisi UU KPK yang isinya tidak melemahkan KPK," kata Ruki melalui pesan pendek kepada Tempo, Rabu, 24 Juni 2015.
Menurut Ruki, pemerintah dan parlemen seharusnya bisa mengusahakan revisi UU KPK yang tak melemahkan komisi antirasuah. Caranya, memperhatikan dengan detail klausul dalam draf revisi, dengan semangat memberantas korupsi. "Setiap konsep yang mengandung tujuan pelemahan dan pengurangan kewenangan harus ditolak," ujar Ruki.
Pada 23 Juni 2015, DPR resmi memasukkan revisi UU KPK ke Program Legislasi Nasional 2015 walau ditolak Presiden Joko Widodo. Upaya merevisi UU KPK dinilai bakal berdampak buruk pada KPK. Sebab, beberapa usulan perubahan diyakini bisa melemahkan KPK.
Misalnya, mengubah kewenangan penyadapan KPK agar hanya bisa dilakukan terhadap orang yang sudah diproses hukum. Padahal hampir semua operasi tangkap tangan oleh KPK adalah hasil sadapan terhadap orang-orang yang belum tersentuh hukum. Pelaksana tugas Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji menganggap penyadapan tak ada artinya jika dilakukan terhadap orang yang sudah diproses hukum.
Selain itu, KPK disebut-sebut harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam setiap pelimpahan perkara ke penuntutan. Ini dinilai melemahkan karena selama ini KPK sudah memiliki sistem penuntutan tersendiri--yang belum pernah gagal di persidangan hingga saat ini.
MUHAMAD RIZKI