TEMPO.CO, Kediri - Forum kiai sepuh Jawa Timur mengusulkan pemilihan Ketua Umum Nahdlatul Ulama dalam Muktamar ke-33 di Jombang pada 1-5 Agustus 2015 melalui mekanisme formatur.
Usulan itu akan dibawa ke musyawarah nasional alim ulama agar direkomendasikan pada muktamar. Usulan tersebut disepakati setelah beberapa kiai sepuh NU bertemu di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Rabu, 10 Juni 2015.
Juru bicara forum kiai, KH Anwar Iskandar, mengatakan hasil pertemuan menyepakati menggunakan mekanisme ahlul halli wal aqdi (AHWA) atau formatur dalam pemilihan ketua tanfidziyah maupun rais am. “Mekanisme ini mengeliminir potensi perpecahan yang terjadi setelah pemilihan,” kata Anwar Iskandar.
Menurut dia ada beberapa alasan mengapa para kiai mengusulkan mekanisme ini. Selain legal karena diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, sistem itu digunakan oleh pemimpin-pemimpin dunia setelah Nabi Muhammad wafat.
Sistem ini pula yang dipergunakan NU dalam memutuskan kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid pada Muktamar NU di Situbondo pada 1984. Selain itu, model pemilihan formatur juga untuk menjaga martabat para ulama sebagai pemegang amanat tertinggi NU.
Anwar mengklaim metode pemilihan ini telah didukung oleh sebagian kiai di Jawa Tengah dan mayoritas kiai sepuh di Jawa Timur. Mereka akan membawa usulan ke musyawarah nasional ulama sebelum pelaksanaan muktamar. “Kita berharap munas alim ulama bisa menyepakati usulan ini untuk diterapkan dalam muktamar,” katanya.
Forum juga telah membicarakan beberapa nama yang akan diusulkan menjadi anggota formatur, di antaranya KH Maimun Zubair, KH Anwar Manshur, KH Mas Subadar, KH Miftahul Ahyar, dan KH Mustofa Bisri.
Para ulama tersebut dinilai tepat mewakili seluruh kalangan NU dalam memilih dan menetapkan Ketua Umum PBNU dan Rais Am NU. “Kalau tidak disetujui di pemilihan ketua, minimal syuriah,” ujarnya.
Pertemuan forum kiai di Lirboyo dihadiri KH Anwar Manshur, KH Kafabihi Mahrus dan KH Habibuloh Zaini selaku tuan rumah; KH Zainudin Dzazuli dan KH Nurul Huda dari Pesantren Al Falah, Ploso, Kediri; KH Mas Subadar dan KH Idris Samid dari Pasuruan, KH Miftahul Ahyar dari Surabaya, serta KH Anwar Iskandar dari Pesantren Al Amin, Ngasinan, Kediri.
HARI TRI WASONO