TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Pertahanan DPR, T.B. Hasanuddin, meminta Presiden Joko Widodo mematuhi peraturan perundang-undangan, dengan memilih secara bergantian kepala staf Tentara Nasional Indonesia dari berbagai kesatuan sebagai Panglima TNI.
Menurut dia, sesuai isi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, jabatan Panglima TNI bisa atau dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi militer dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
"Memang kalau tidak digilir tidak melanggar. Tapi itu berarti kurang memperhatikan ketentuan undang-undang, atau tidak betul membacanya," kata Hasanudin di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis, 6 Juni 2015.
Hasanuddin menjelaskan, menempatkan secara bergantian kepala staf TNI AD, TNI AL, dan TNI AU sebagai panglima TNI diperlukan untuk menjaga kohesi dan struktur karier di TNI. "Pertempuran yang akan datang tidak hanya di darat, tapi juga udara dan laut," ujar dia.
Hasanuddin juga menegaskan lagi pernyataannya, undang-undang tentang TNI telah mengamatkan jabatan Panglima TNI bisa atau secara bergantian. "Kata ‘dapat’ bisa ditafsirkan bergilir atau tidak. Tapi yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang, lebih baik bergilir,” ucapnya.
Sebelumnya Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan Kepala Staf TNI AU belum tentu bakal menjadi Panglima TNI. Menurut dia, pemilihan Panglima TNI bergantung pada kebutuhan politik pertahanan Presiden Joko Widodo.
Jika aturan rotasi diberlakukan seperti dalam era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna berada di urutan pertama sebagai pengganti Moeldoko, yang berasal dari Angkatan Darat. Sebelumnya jabatan panglima diduduki Agus Suhartono dari Angkatan Laut.
INDRI MAULIDAR | TIKA PRIMANDARI