TEMPO.CO, Batu - Dwi Cahyono, arkeolog di Malang, menduga ahli keris Mpu Gandring juga tinggal di Desa Sangguran. Ken Arok pun memesan keris kepada Mpu Gandring di Desa Sangguran.
Berbekal keris itu, Ken Arok membunuh Tunggul Ametung dan memperluas pengaruh Tumapel, yang saat itu dikuasai Kerajaan Kediri, sampai ia menghancurkan Kerajaan Kediri dan mendirikan Kerajaan Singosari. Namun, jauh sebelum masa Ken Arok, kata Dwi, Desa Sangguran sudah dikenal Kerajaan Mataram sebagai desa pembuat senjata.
Karena Prasasti Sangguran amat penting, menurut para arkeolog, seharusnya dikembalikan ke Indonesia. Upaya pemulangan Batu Minto itu, kata Peter Carey—sejarawan asal Inggris, pernah digagas Nigel Bullough, Indonesianis asal Inggris yang memiliki nama Jawa Hadi Sidomulyo. Menurut Carey, dia tahu bahwa Bullough melakukan negosiasi pemulangan Prasasti Sangguran sejak 2003.
“Jauh sebelum saya ke sini, Nigel Bullough sudah punya niat bernegosiasi dengan keluarga Lord Minto,” kata Carey kepada Tempo. Bullough, yang ditemui Tempo di Universitas Surabaya Training Center di Desa Tamiajeng, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, akhir Maret lalu, menolak memberikan komentar ihwal proses negosiasi pengembalian Prasasti Sangguran dengan keluarga Lord Minto itu. "Case closed. Saya tidak mau bercerita apa pun soal Batu Minto," ujar Bullough.
Ada nada kekecewaan dalam ekspresi Bullough. Dia sendiri pernah secara rinci membuat laporan mengenai proses negosiasi tim Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan Lord Minto VII. Laporan yang bersifat rahasia itu dikirimkan Bullough kepada Carey pada 2011 ketika ada rencana membuat acara peringatan 200 tahun Raffles. Laporan itu kemudian tersebar luas.
Dari laporan tersebut terungkap bahwa Bullough mengenal Lord Minto VII dan lantas mengirim surat elektronik yang menjelaskan betapa bernilainya obyek yang diwariskan pendulunya itu, dan memintanya memberikan pertimbangan yang serius atas masa depan benda tersebut. Dijelaskan dalam surat itu bahwa Batu Minto merupakan benda cagar budaya yang dipindahkan dari tempatnya di Indonesia lebih dari 200 tahun lalu. Kehilangan itu sangat disesalkan dan pengembaliannya begitu diharapkan.
Korespondensi berlanjut hingga membuahkan pertemuan. Tim arkeolog dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, yang terdiri atas Sekretaris Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Sri Rahayu Budiarti, Direktur Peninggalan Sejarah dan Purbakala Soeroso, Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur Dukut A. Santoso, dan Nigel Bullough dari Yayasan Nandiswara, berangkat menyambangi batu prasasti itu pada 19 Februari 2006 saat musim semi. Mereka bertemu dengan Lord Minto VII di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Inggris di London. (Bersambung)
D. YULIASTUTI | R. ASIH | ABDI PURNOMO | DAVID P. (MAJALAH TEMPO, 4 MEI 2014)
Baca Lanjutannya:
Prasasti Kutukan: Nilainya Selangit, Sulit Ditebus (6)