TEMPO.CO, Surabaya - Beban tugas dosen yang terlalu berat disebut menjadi pemicu praktek kecurangan ijazah palsu ataupun jual-beli skripsi. Ketidakseimbangan antara jumlah dosen dan mahasiswa menyebabkan kurangnya pengawasan terhadap kualitas karya skripsi.
"Beban dosen di Indonesia terlalu besar, sehingga kadang-kadang ada saja mahasiswa yang tidak tahu tentang apa yang dia tulis sendiri," kata Rektor Universitas Airlangga periode 2015-2020, M. Nasih, kepada Tempo, Minggu, 31 Mei 2015.
Menurut dia, rasio antara dosen pembimbing dan anak bimbingannya harus dibatasi. "Satu dosen sebaiknya membimbing maksimal enam mahasiswa. Lebih dari itu sudah tidak mungkin," ujar Nasih. Dosen dengan beban tugas mengajar dan membimbing yang berlebihan akan berpengaruh pada kualitas pengawasan mutu skripsi.
Nasih menegaskan bahwa perguruan tinggi negeri tak mungkin mengeluarkan ijazah palsu atau membiarkan praktek jual-beli skripsi di lingkungannya. Dia menggambarkan bagaimana sistem penerimaan hingga evaluasi nilai mahasiswa di PTN yang amat ketat.
Unair, tutur Nasih, menggunakan manajemen sistem yang terintegrasi. "Jadi tidak mungkin ada mahasiswa yang bisa lulus sementara dia tidak memenuhi persyaratan kehadiran maupun nilai yang mencukupi untuk ikut ujian. Di kampus kami, tidak adalah," katanya.
Selain itu, ujar Nasih, Unair mencetak ijazah di Perum Peruri dengan jumlah lembar kertas sesuai dengan mahasiswa yang terdaftar sebagai wisudawan. "Setiap lembar memiliki nomor seri cetak, dan itu tidak lebih," ucap Nasih.
Guru besar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair tersebut menyarankan agar persoalan ijazah palsu dan jual-beli skripsi segera dituntaskan hingga akarnya, terutama oknum universitas penyelenggara. Menurut Nasih, jangan sampai kasus yang mencuat justru menimbulkan polemik berupa wacana pembuatan skripsi menjadi opsional. "Skripsi itu tetap perlu. Jadi yang harus ditingkatkan ialah penjaminan mutu skripsi, bukan dihapus," tuturnya.
ARTIKA RACHMI FARMITA