TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Anton Charlian, mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi seharusnya tunduk pada aturan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana terkait dengan status penyelidik dan penyidik. Meski mempunyai Undang-Undang KPK yang bersifat lex specialis.
"Undang-undang itu kan saling berkaitan, jadi tidak bisa berdiri sendiri," ujarnya di Mabes Polri, Kamis, 28 Mei 2015.
Belakangan ini, status penyidik KPK banyak dipertanyakan, terutama oleh para koruptor. Misalnya dalam sidang praperadilan bekas Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Haswandi, mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Hadi atas penetapannya sebagai tersangka kasus rekomendasi keberatan pajak terhadap Bank BCA.
Salah satu pertimbangan Haswandi adalah penyelidik dan penyidik KPK yang menangani perkara Hadi bukan berasal dari kepolisian. Karena itu, proses penyelidikan, penyidikan, penyitaan, serta upaya hukum lain oleh KPK terhadap Hadi tidak sah.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso menjelaskan, penyidik KPK memang seharusnya berasal dan diangkat Polri atau Kejaksaan Agung, sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dia mengakui bahwa KPK memiliki UU sendiri untuk mengangkat dan memberhentikan penyidik.
Tapi Waseso menilai aturan KUHAP lebih tinggi. Artinya, perkara yang selama ini ditangani KPK berpotensi cacat hukum. "Kami akan evaluasi. Bisa saja itu cacat hukum. Tapi kita lihat saja hasil keputusan dari pemerintah," tuturnya.
Karena itu, Polri menyatakan siap memasok penyidik untuk KPK. Tujuannya, supaya perkara yang ditangani lembaga antirasuah itu tidak berpotensi cacat hukum. Anton pun mempersilakan KPK merevisi undang-undangnya, terutama terkait dengan penyelidik dan penyidik.
DEWI SUCI RAHAYU