TEMPO.CO, Jakarta - Pemberantasan korupsi saat ini tengah mengalami guncangan. Dalam bulan ini, sudah dua tersangka korupsi berhasil memenangkan gugatan praperadilan mereka.
"Ini konsekuensi dari Mahkamah Konstitusi yang mengizinkan penetapan tersangka masuk praperadilan," kata Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Oce Madril, saat dihubungi pada Selasa, 26 Mei 2015.
Pada April lalu, Mahkamah Konstitusi mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan saat mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan terpidana kasus bioremediasi, Chevron Bachtiar Abdul Fatah, terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Dengan demikian, penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai obyek praperadilan.
Setelah penetapan ini, sudah dua orang yang berhasil memenangkan gugatan yakni bekas Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dan mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo. Adapun Komisaris Jenderal Budi Gunawan dikabulkan gugatan praperadilan sebelum ada putusan Mahkamah. "Tak dapat dipungkiri, pemberantasan korupsi era Jokowi sangat lemah saat ini," kata dia.
Meski terkesan membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak berdaya, Oce tak setuju bila obyek baru ini disebut melemahkan. Sebab, wewenang pengadilan dalam menilai apakah status tersangka pantas dicabut atau tidak hanya sebatas prosedur penetapan. Apabila sesuai prosedur, maka tak ada alasan pencabutan. KPK masih bisa menetapkan kembali orang tersebut sebagai tersangka.
"Sistem ini harus diikuti. Sekaligus membuat para penegak hukum lebih berhati-hati dalam penetapan tersangka," kata Oce.
Ia juga menyarankan Mahkamah Agung untuk membuat kebijakan pendukung yang lebih mendefinisikan kewenangan hakim dalam menilai praperadilan. Dengan demikian, putusan yang dibuat tak kontroversial dan tergantung subyektivitas masing-masing hakim. Apabila tidak, maka para koruptor bisa melenggang bebas berkat praperadilan.
URSULA FLORENE SONIA