TEMPO.CO, Padang - Aktivis Lembaga Antikorupsi Integritas Sumatera Barat, Roni Saputra, menilai putusan sidang praperadilan penetapan tersangka bekas Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, Hadi Poernomo, lebih membingungkan dibanding putusan kasus Komisaris Jenderal Budi Gunawan dan bekas Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin.
"Padahal dalam UU KPK, KPK diberi ruang untuk mengangkat penyelidik dan penyidik independen," ujar Roni, Selasa, 26 Mei 2015.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Hadi atas penetapannya sebagai tersangka oleh KPK. Hakim tunggal yang memimpin sidang, Haswandi, menyatakan penyelidik dan penyidik KPK tidak sah karena bukan berasal dari kepolisian.
Menurut Roni, hakim tunggal mengesampingkan kewenangan KPK dalam menetapkan penyelidik dan penyidik independen. Dalam Pasal 43 dan 45 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 disebutkan bahwa penyelidik dan penyidik KPK diangkat dan diberhentikan oleh KPK.
Roni mengatakan konsekuensi putusan ini yakni muncul kekacauan hukum yang lebih besar. Sebab pengangkatan penyelidik dan penyidik KPK dianggap melanggar prosedur.
"Bisa-bisa kasus tindak pidana korupsi yang sudah disidangkan dan diputus di pengadilan tipikor yang dituntut KPK akan menjadi cacat hukum, karena dianggap penyelidik dan penyidik kasus itu tak berwenang," ujar pendiri Lembaga Antikorupsi Integritas Sumatera Barat itu.
Roni mengatakan tidak tegasnya Mahkamah Agung dalam menentukan obyek praperadilan menimbulkan ketidakjelasan hukum. Menurut dia, patut diduga ada upaya pelemahan KPK secara sistematis. Pelemahan itu tidak saja lewat kebijakan legislatif, tapi juga yudikatif.
"Kita mesti mewaspadai ini sebagai bentuk pelemahan secara sistematis. Ujung-ujungnya KPK menjadi komisi pencegahan korupsi, bukan pemberantasan," ujar Roni.
ANDRI EL FARUQI