TEMPO.CO, Purwokerto - Puluhan buruh tani dari Kelompok Tani Marga Jaya, Desa Pegalongan, Kecamatan Patikraja, Kabupaten Banyumas, melakukan penanaman perdana dengan metode Hazton. Metode ini diyakini bisa mengangkat kesejahteraan buruh tani yang selama ini masih terpinggirkan.
“Metode ini sudah berhasil di Kalimantan Barat yang dikembangkan di lahan seluas 5.000 hektare,” kata Djoko Juniwarto, Kepala Unit Komunikasi dan Koordinasi Kebijakan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto, Selasa, 19 Mei 2015.
Ia mengatakan Bank Indonesia mengucurkan dana sekitar Rp 159 juta untuk mendukung ketahanan pangan di Banyumas. Menurut dia, dengan metode Hazton, petani bisa memanen padinya sebanyak 10 ton per hektare. Selama ini, petani di Banyumas paling banyak bisa memanen padi hanya 5 ton per hektare.
Dari hasil panen, keuntungan sebesar 50 persen akan diberikan kepada buruh tani. Sedangkan 30 persen lainnya untuk modal musim tanam selanjutnya.
Menurut dia, buruh tani susah kaya karena selama ini tidak pernah diajarkan wirausaha tani dari hulu hingga hilir. Dalam sebulan, buruh tani hanya mampu menghasilkan Rp 800 ribu, atau masih di bawah upah minimum kabupaten.
Untuk tahap pertama, ia menargetkan sebanyak 253 buruh tani prasejahtera bisa meningkatkan kesejahteraannya. Program tersebut merupakan percontohan dan akan disebarkan ke Banyumas Raya. “Selama ini buruh tani tidak punya akses modal dan kapabilitas. Ini juga mengajarkan literasi keuangan kepada buruh tani,” ujarnya.
Subur, 42 tahun, petani Desa Pegalongan, mengatakan untuk tahap pertama akan diujicobakan di lahan seluas 10 hektare. “Saya pernah mencobanya di lahan 1.400 meter persegi. Hasilnya mencapai 8,4 ton per hektare,” tuturnya.
Dengan metode Hazton, kata dia, petani bisa mengurangi pupuk kimia yang merusak lingkungan dan memperbanyak pupuk organik. Menurut dia, petani bisa menghemat Rp 1.350.000 setiap hektare jika menggunakan metode Hazton.
Selama ini, kata dia, buruh tani menjadi obyek penindasan juragan sawah. Mereka yang hanya ongkang-ongkang kaki mendapatkan hasil lebih banyak dibandingkan buruh tani.
Wakil Bupati Purbalingga Budhi Setiawan mengatakan, dengan hasil 5 ton per hektare, Banyumas masih surplus beras. “Kalau ini bisa menghasilkan minimal 10 ton per hektare, bisa dikembangkan di daerah lain di Banyumas,” ucapnya.
Menurut dia, dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN, beras Vietnam berharga hanya Rp 4.000 per kilogram. Sedangkan beras petani Indonesia berharga Rp 9.000 per kilogram.
Saat ini, kata dia, setiap tahun Banyumas surplus beras sebesar 40 ribu ton. Sedangkan produksi beras dalam setahun mencapai 300 ribu ton. “Saya optimistis ketahanan pangan di Banyumas akan terjaga,” katanya.
ARIS ANDRIANTO