TEMPO.CO, Jakarta -Kementerian ESDM mengatakan daerah di perbatasan, utamanya yang bersebelahan dengan Sarawak, Malaysia, masih mengimpor listrik. Sebab, belum ada pembangkit yang terpasang di beberapa daerah tersebut.
"Tapi kita juga mulai mengekspor listrik ke Papua Nugini. Mekanisme itu biasa terjadi," ujar Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Jarman, Ahad, 10 Mei 2015.
Beberapa daerah yang mengimpor listrik adalah Kecamatan Aruk, Kabupaten Sambas, dan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu. Skema dilakukan sejak diperbolehkan oleh UU Ketenagalistrikan Tahun 2009.
Namun Pemerintah mengklaim tidak tinggal diam. Saat ini, mereka memulai program listrik di perbatasan dengan membangun 144 pembangkit listrik dua tenaga (hybrid) berkapasitas total 66 megawatt.
Jarman optimistis program ini selesai pada Agustus tahun ini. Dia mengharapkan pemerintah daerah mensuplai sumber energi baru terbarukan potensi daerah masing-masing sebagai pembangkit primer.
Impor listrik juga diberlakukan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat sebesar 1,3 megawatt dari Sarawak. Namun, berdasarkan pengakuan Wakil Bupati Yohanes Ontot, mekanisme ini tidak berjalan lancar karena seringnya mati listrik di distrik pengimpor seperti di ibukota Entikong.
"Dalam satu hari, kami bisa mati listrik 6-7 jam. Listrik ini pun tidak bisa dialiri ke dusun pelosok," kata Yohanes.
Pengamat Energi Marwan Batubara menganggap wajar skema impor listrik ini. Namun kata Marwan, mekanisme itu rawan diputus jika terjadi konflik Indonesia-Malaysia.
Dia juga meminta transparansi dalam skema tersebut. Sebab pemerintah tidak pernah mengumumkan seperti apa kontrak yang disepakati ataupun besaran biaya yang dibutuhkan. "Impor listrik itu efektif untuk sementara. Tapi tidak boleh untuk jangka panjang," ujar Marwan saat dihubungi, Minggu, 10 Mei 2015.
ROBBY IRFANY