TEMPO.CO, Yogyakarta - Penduduk yang menolak pembangunan bandar udara di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, memprotes tindakan aparat hukum yang menyeret empat rekan mereka sebagai terdakwa hanya gara-gara menyegel kantor kepala desa.
Rencananya besok, 30 April 2015, keempat warga Desa Glagah itu akan mendengarkan tuntutan jaksa di Pengadilan Negeri Wates. “Keterangan para saksi menunjukkan para terdakwa tidak layak dimejahijaukan,” kata Martono, Ketua Wahana Tri Tunggal, paguyuban warga penolak bandara itu, Rabu, 29 April 2015.
Menurut Martono, dia bersama sekitar 300 warga penolak bandara baru pengganti Bandara Adisutjipto itu akan menggelar unjuk rasa untuk menuntut majelis hakim membebaskan Wasiyo, Tri Marsudi, Wakidi, dan Saridjo, empat warga Glagah yang menjadi terdakwa.
Wasiyo mengaku sebagai orang yang memegang kayu yang digunakan untuk menyegel kantor Kepala Desa Glagah. Tri Marsudi memakukan kayu pada pintu dan jendela. Wakidi menulis ihwal penyegelan pada dinding.
Ketiganya didakwa melanggar Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang melakukan perusakan secara bersama-sama. Sedangkan Saridjo dituding menghasut massa, sehingga dikenai Pasal 160 KUHP tentang penghasutan.
Keempatnya terancam hukuman lebih dari lima tahun penjara. “Saksi-saksi pelapor justru saling lempar. Tidak tahu persis kejadiannya. Ada kesan terdakwa digiring agar dipenjara,” kata Martono.
Peristiwa penyegelan tersebut terjadi pada 30 September 2014. Saat itu warga datang ke Balai Desa Glagah untuk meminta penjelasan Kepala Desa Agus Parmono tentang pembangunan bandara. Bukannya menjelaskan, Agus malah kabur lewat pintu belakang. Akibatnya, warga marah dan menyegel kantornya.
Dalam dakwaannya, jaksa menjelaskan bahwa mereka telah melakukan perusakan dengan menulisi pintu kantor kepala desa itu dengan tulisan “Disegel Warga”, melubangi pintu dan jendela dengan paku, serta mematahkan engsel pintu.
Sebelumnya, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan izin penetapan lokasi yang menjadi dasar awal pembebasan lahan warga yang terkena dampak pembangunan bandara itu. Paguyuban warga yang menolak digusur dari tempat tinggalnya meminta Sultan mencabut izin itu. Tapi permintaan itu ditolak. Bahkan permintaan penduduk untuk berdialog dengan Raja Keraton Yogyakarta itu hingga kini tak dipenuhi.
Ini kedua kalinya penduduk yang menjadi korban pembangunan di kawasan pesisir Kulon Progo diseret ke pengadilan karena menolak digusur. Sebelumnya, sejumlah warga kawasan pesisir Kulon Progo divonis bersalah setelah mereka memprotes aktivitas penambangan pasir besi di wilayah itu. Penduduk menolak digusur karena mereka sudah berhasil mengolah lahan pasir menjadi kebun sayur dan buah-buahan.
PITO AGUSTIN RUDIANA