TEMPO.CO, Jakarta - Dua pekan lalu seekor gajah ditemukan dengan kepala terbelah kapak di Desa Kareung, Kecamatan Arongan Lambalek, Aceh Barat. Gadingnya menghilang. Dua lubang di jidatnya ditengarai muncul akibat terjangan peluru. “Pelakunya belum terdeteksi,” kata Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Provinsi Aceh Genman Suhefti Hasibuan kepada Tempo Jumat pekan lalu.
Selain menembaknya, banyak cara membunuh gajah. Pemburu tradisional biasanya menggunakan seunumbok. Terbuat dari linggis besi yang diikatkan ke gelondongan kayu sebagai pemberat, alat ini digantung vertikal ke atas pohon. Seutas tali baja tersambung dengan gelondongan itu. Bila tersentuh, seunombok jatuh dan menancap di jidat gajah. “Bagian kepala memang kelemahan gajah,” kata Suriyanto, aktivis satwa liar di Aceh.
Mereka juga menggunakan papan berpaku lima inci yang sudah diolesi racun. Selain dioles ke paku, racun digunakan di makanan gajah. Biasanya, cara ini digunakan untuk gajah yang sudah dianggap mengganggu kebun masyarakat. Racun yang digunakan biasanya arsenik serta tuba. Cara ini ampuh karena dianggap tak terdeteksi. “Kami tidak akan bisa tahu di mana makanan gajah itu yang akan diracun,” kata Genman.
Akibat perburuan itu, status gajah Sumatera di Aceh kini terancam punah. Bersama gajah, harimau Sumatera di sana terus diburu. Kebanyakan satwa itu dibunuh karena dianggap mengganggu masyarakat. Alasan itu terbantahkan karena, selain menyasar gajah dan harimau, perburuan liar yang menargetkan beruang, rusa, kambing hutan, trenggiling serta burung–burung langka di Aceh terus terjadi hingga kini.
Membunuh harimau berbeda dengan gajah. Para pemburu biasanya menggunakan jerat baja untuk menangkap raja rimba itu. Jerat tali baja itu dipasang di tanah dengan mengunakan umpan daging mentah. Bila umpan itu dimakan, talinya akan mengekang kepala dan kaki harimau. “Jebakan seperti ini masih banyak ditemukan di hutan Aceh,” kata Genman. Cerita lengkapnya ada di majalah Tempo pekan ini.
TIM INVESTIGASI