TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak pemerintah membatalkan eksekusi mati terhadap terpidana mati asal Brasil, Rodrigo Gularte. Gularte dianggap tak cakap hukum karena didiagnosis menderita gangguan jiwa skizofrenia dan bipolar psikopatik.
Penyakit Rodrigo pertama kali terdeteksi pada 1996. Ia dirawat di Clinica Quinta do Sol di Parana, Brasil, selama Maret hingga November. Gularte juga diberi obat-obatan antipsikotik.
"Dianogsis ini sudah diperkuat oleh Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap pada Februari lalu," kata Riky Gunawan, anggota tim advokasi Gularte, di kantor Kontras, Jakarta, Ahad, 19 April 2015.
Di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Gularte kerap berbicara dan tertawa sendiri. Karena itu, kata Riky, ia harusnya dipindahkan ke rumah sakit jiwa. "Bukti-buktinya sudah lengkap. Bila kejaksaan mengeksekusi orang gila, maka itu melanggar undang-undang," kata Riky.
Tim advokasi bakal memasukkan permohonan pengampuan ke Pengadilan Negeri Cilacap. Pengajuan prmohonan dimaksudkan agar sepupu terpidana, Angelita Muxfeldt, bisa mewakili Gularte memutuskan hak-hak hukumnya. "Kami minta kejaksaan menunda eksekusi setidaknya hingga hak-hak hukum ini terpenuhi," kata Riky.
Rodrigo Gularte divonis mati pada 2005 setelah tertangkap menyelundupkan enam kilogram kokain dalam papan seluncur. Pria 42 tahun ini bakal dieksekusi bersama sebelas terpidana lainnya, termasuk duo Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan eksekusi bakal dilaksanakan setelah perhelatan Peringatan ke-60 Konferensi Asia Afrika yang berakhir 24 April mendatang.
INDRI MAULIDAR