TEMPO.CO, Kediri - Bangunan rumah sakit dengan nilai proyek Rp 220 miliar milik Pemerintah Kota Kediri itu mangkrak. Pemerintah memutuskan menghentikan sementara pembangunannya karena khawatir terkena jerat pidana korupsi.
Bangunan Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran II di Jalan Kapten Tendean, Kecamatan Pesantren, Kota Kediri, yang didesain menjadi rumah sakit bagi para terdampak rokok itu nyaris tak berbentuk. Meski memiliki desain megah dan mewah, bagian depannya dipenuhi ilalang dan semak belukar.
“Tidak ada aktivitas pembangunan sama sekali,” kata seorang penjaga keamanan gedung, Rabu, 1 April 2015. Pemerintah sempat menggadang-gadang bangunan yang didirikan pada 2009 di lahan 3,8 hektare itu akan menjadi rumah sakit ISPA terbesar yang dibangun dari dana pengembalian cukai rokok.
Juru bicara Pemerintah Kota Kediri Apip Permana mengatakan Wali Kota Kediri Abdulah Abubakar memutuskan menghentikan pembangunannya tanpa batas waktu. Ini lantaran pemerintah masih mencari celah memulai kembali proyek senilai Rp 220 miliar itu agar tak terjerat aparat penegak hukum. “Kami masih mencari titik amannya untuk memulai kembali,” kata Apip.
Kejaksaan Negeri Kota Kediri sempat menetapkan tiga pejabat Pemerintah Kota Kediri yang terkait proyek itu. Mereka adalah bekas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Kediri Kasenan, Asisten Wali Kota Kediri Budi Siswantoro, dan Ketua Panitia Lelang Siswanto. Namun belakangan Kejaksaan menganulir status itu dan menyatakan tak ada tindak korupsi dalam pembangunan rumah sakit yang dimulai pada pemerintahan Wali Kota Samsul Ashar itu.
Apip mengatakan pemerintah juga menerima banyak kritik atas mandeknya proyek itu. Karena itu, Wali Kota Kediri Abdulah Abubakar berencana melanjutkannya kembali sambil berkoordinasi dengan aparat hukum untuk menghindari jerat hukum. Sedangkan pelaksana proyek yang ditunjuk sebelumnya sudah diputus kontrak dan harus ditenderkan kembali.
Kepala Seksi Pidana Kejaksaan Negeri Kota Kediri Sundaya mengatakan proyek itu dinyatakan bersih dan tak terindikasi korupsi. Karena itu, dia membebaskan pemerintah untuk melanjutkan kembali proses pembangunannya. Penetapan tersangka yang sempat dilakukan institusinya diakui terburu-buru dan tidak didukung alat bukti yang kuat. “Kami sudah kerahkan 25 ahli konstruksi dari ITS untuk meneliti bangunan itu. Hasilnya justru terjadi kelebihan spesifikasi.”
HARI TRI WASONO