TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pusat Studi Politik dan Pemerintahan, Universitas Padjadjaran Muradi meragukan penculikan dan pembunuhan dua anggota intelijen Komando Distrik Militer (Kodim) 0103 Aceh Utara sebagai aksi kriminal biasa. "Penculikan dan pembunuhan itu bukan bermotif kriminal murni, tapi lebih banyak menjadi semacam manuver untuk menarik perhatian khalayak ada faksi lain di luar tiga faksi eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ada selama ini," kata dia di Bandung, Rabu, 25 Maret 2015.
Muradi beralasan, pola penculikan dan pembunuhan itu mirip dengan pola kombatan GAM sebelum Perjanjian Helsinki ditandatangani. Dia menduga, ada faksi diluar tiga faksi yang dikenal selama ini, yang kecewa dan sengaja mengambil jalan lain di luar pilihan politik tiga faksi eks GAM yang dikenal saat ini.
Tiga faksi kelompok eks GAM yang dikenal saat ini, yakni faksi Zaini Abdullah Gubernur Nangroe Aceh Darussalam saat ini, lalu faksi Muzakir Manaf Wakil Gubernur, serta faksi Irwandi Yusuf mantan gubernur sebelumnya.
Menurut Muradi, lebih dari 500 anggota eks GAM yang tersebar di Aceh. "Keberadaan Partai Aceh sebagai kepanjangan tangan perjuangan membawa Nangroe Aceh Darussalam sejahtera dalam pangkuan NKRI dianggap tidak cukup mengakomodir ratusan mantan kombatan untuk hidup layak," kata dia.
Dia khawatir, konflik antar elit di Partai Aceh dan eks GAM bisa menyulut sejumlah mantan kombatan kembali angkat senjata. Dia menduga, penculikan dan pembunuhan anggota TNI itu sengaja dilakukan untuk menunjukkan keberadaannya. "Menegaskan keberadaan mereka yang berbeda dengan tiga faksi eks GAM," kata Muradi.
Muradi menyarankan pemerintah secepatnya merespon peristiwa itu. Salah satunya dengan mengevaluasi proses pemberian bantuan pada mantan kombatan GAM yang menjadi salah satu amanat Perjanjian Helsinki. "Dengan memastikan bentuk bantuan pemerintah pusat untuk mantan kombatan GAM itu harus sampai dan efektif untuk pengalihan menjadi warga biasa," kata dia.
Dia juga menyarankan agar faksi eks kombatan yang ada saat ini di lingkaran kekuasaan untuk menurunkan ego politiknya untuk menjaga situasi tetap kondusif. "Respon tersebut diharapkan akan mengurangi ketegangan dan mengarahkannya untuk membangun Nangroe Aceh Darussalam bersama-sama," kata Muradi. "Pemerintah juga harus meyakinkan TNI dan institusi keamanan lainnya agar menahan diri dan tidak terprovokasi."
Sebelumnya, anggota Polres Lhokseumawe menemukan dua jenazah anggota TNI di Batikpilah, Nisam Antara, Aceh, Selasa, 24 Maret 2015. Kedua jenazah yang diketahui bernama Sertu Indra dan Serda Hendri itu penuh luka tembak.
Sebelum ditemukan, kedua anggota TNI itu hilang sejak sehari sebelumnya, sore pukul 16.00. Mereka dinyatakan hilang oleh Kodim 0103 Aceh Utara. Ketika ditemukan keesokan harinya, mereka sudah dalam kondisi penuh luka tembak, terikat, berdekatan satu dengan yang lain, dan bertelanjang dada.
Kedua jenazah itu kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Karem. Adapun pihak TNI dan kepolisian menemukan 12 butir selongsong senapan mesin AK47 dan tiga selongsong senapan mesin M16.
Dua anggota intelijen Komando Distrik Militer (Kodim) 0103 Aceh Utara dimakamkan di dua tempat berbeda, Selasa, 24 Maret 2015. Sersan Dua Hendrianto, 36 tahun, yang berasal dari Kerinci Jambi, dimakamkan di kediaman istrinya di Desa Paloh Gadeng Kecamatan Dewantara Aceh Utara. Sementara Sersan Satu Indra Irawan yang berasal dari Palembang telah dimakamkan di pemakaman desa Kuta Blang Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe.
AHMAD FIKRI