TEMPO.CO, Padang - Subsidi penyelenggaraan partai politik sebesar Rp 1 triliun yang diambil dari APBN dinilai tak akan meminimalkan potensi korupsi lewat kader partai. "Ini malah akan melegalisasi pencurian uang rakyat," ujar peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, Selasa malam, 10 Maret 2015.
Menurut dia, tidak mungkin negara membiayai partai politik. Apalagi dengan anggaran yang besar. Partai hanya organisasi eksternal dari struktur negara.
Feri mengatakan ada tiga kelemahan jika pemerintah mensubsidi partai. Pertama, partai politik akan malas bekerja karena sudah disubsidi negara. Kedua, akan membuka ruang lahirnya partai baru yang bertujuan mengejar uang negara.
"Ketiga, uang rakyat tidak dipergunakan untuk biaya sosial ekonomi masyarakat, tapi dialihkan ke partai," ujarnya.
Kata Feri, dengan subsidi itu, partai akan menjadikan anggaran negara sebagai sumber penghasilan. Ini akan berefek terhadap ketergantungan partai pada kas negara.
Baca Juga:
Sehingga, bisa saja para politikus di DPR berupaya meningkatkan anggaran tersebut setiap tahunnya. "APBN akan menjadi bancakan parpol," ujarnya.
Menurut Feri, ketika uang rakyat digunakan untuk menguntungkan organisasi partai, maka pelaku pengubah anggaran bisa diduga menggunakan kekuatan jabatan politiknya untuk memperkaya kelompok tertentu atau partai.
"Dapat dikatakan langkah itu sebagai korupsi," ujar alumnus William and Mary Law School, Virginia, Amerika Serikat, ini.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengusulkan adanya dana subsidi untuk partai politik sebesar Rp 1 triliun yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Tjahjo berharap cara ini dapat menekan potensi korupsi lewat kader partai.
ANDRI EL FARUQI