TEMPO.CO , Banda Aceh: Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang melarang penggunaan pukat trawl dan pukat tarik dinilai Panglima Laot (lembaga adat nelayan) Aceh sudah tepat. Aceh bahkan telah melarang penggunaan alat tangkap jenis itu sejak lama, sesuai dengan kesepakatan para nelayan Aceh yang bernaung di bawah lembaga tersebut.
Sekretaris Panglima Laot Aceh, Miftahuddin Cut Adek, mengatakan tak banyak nelayan Aceh yang menggunakan trawl, karena aturan dari lembaga Panglima Laot yang masih dipatuhi. “Menurut data kami, hanya 8 persen nelayan Aceh yang memakai trawl,” kata Miftahuddin kepada Tempo, Jumat ,27 Februari 2015.
Menurut Miftahuddin, pukat trawl umumnya dipakai oleh pengusaha kapal di atas 30 gross ton yang beroperasi di wilayah Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur, Nagan Raya, Aceh Barat. Tapi bukan berarti sumber daya laut Aceh aman, karena banyaknya kapal nelayan dari Sumatera Utara dan asing yang menggunakan alat tangkap tersebut dan beroperasi di perairan Aceh.
Hal itu pula yang menyebabkan sering terjadinya konflik antara nelayan di Aceh dengan nelayan dari luar Aceh. “Dalam beberapa kasus, nelayan Aceh ikut menangkap kapal-kapal nelayan dari Sumatera Utara dan bahkan membakarnya,” kata Miftahuddin.
Panglima Laot yang diakui sudah ada sejak abad ke-14 di Aceh, merupakan organisasi yang kuat dan masih eksis hingga kini di Aceh. Lembaga itu rutin melakukan pertemuan-pertemuan dengan nelayan dan ikut menjaga sumber daya laut Aceh.
Miftahuddin mengatakan, aturan larangan pukat trawl sebenarnya bukan hal baru di Aceh. Sejak 1978, Panglima Laot sudah mengharamkan hal itu sesuai kesepakatan bersama nelayan. Trawl tidak dikenal saat itu. Hanya disebutkan nelayan dilarang menggunakan alat tangkap yang menghabiskan dan merusak sumber daya laut.
Pada 1980, keluar Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 yang melarang hal serupa. Panglima Laot Aceh mendukungnya dan memasukkan dalam aturan hukum adat. Selanjutnya, dari 1989, 2000, dan 2007, Panglima Laot selalu menegaskan kembali aturan adat tentang pelarangan alat-alat tangkap yang dapat merusak sumber daya laut.
Sanksi hukum untuk nelayan Aceh yang melanggar aturan adat juga diberlakukan. Biasanya, menurut Miftahuddin, nelayan yang ketahuan menggunakan alat tangkap itu akan disita alatnya dan dikenai sanksi, kapalnya tidak boleh melaut selama tiga hari.
ADI WARSIDI