TEMPO.CO, Jakarta - Jakarta - Presiden Direktur PT Sentul City sekaligus Komisaris Utama PT Bukit Jonggol Asri, Kwee Cahyadi Kumala alias Swie Teng, menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu, 18 Februari 2015.
Cahyadi didakwa menghalangi penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap pengurusan izin tukar-menukar kawasan hutan seluas 2.754 hektare di Bogor, Jawa Barat, yang melibatkan Bupati Bogor Rachmat Yasin.
"Terdakwa merintangi penyidikan atas nama tersangka F.X. Yohan Yap alias Yohan dan kawan-kawan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Dik-22/01/05/2014 tanggal 8 Mei 2014," kata Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Surya Nelli, saat membacakan dakwaan.
Yohan merupakan tangan kanan Cahyadi yang juga terlibat dalam kasus ini. Pengadilan telah memvonis ringan Yohan, yakni selama 1,5 tahun bui, lantaran telah menjadi
justice collaborator untuk komisi antikorupsi dengan mengakui menyetor duit sebanyak tiga kali kepada Rachmat Yasin. Yohan berperan sebagai kurir Cahyadi. Jaksa Nelli mengatakan Cahyadi telah memerintahkan sejumlah saksi, yakni Teuteung Rosita, Roselly Tjung,
Dian Purwheny, dan Tina S. Sugiro memindahkan dokumen terkait proses pengurusan izin tukar-menukar lahan atas nama Bukit Jonggol Asri kepada Rachmat Yasin agar tidak disita penyidik. Selain itu, Cahyadi memerintahkan Tantawi Jauhari
Nasution untuk menyuruh Jo Shien Ni menandatangani perjanjian pengikatan jual beli tanah antara PT Brilliant Perdana Sakti dan PT Multihouse Indonesia sebesar Rp 4 miliar.
Ini dilakukan agar seolah-olah duit itu merupakan hasil transaksi jual-beli dan tak ada hubungannya dengan suap kepada Rachmat Yasin.
Menurut Jaksa Nelly, Cahyadi juga memerintahkan Roselly Tjung, Suwito, Dian Purwheny, dan Tina S. Sugiro memberikan keterangan yang tidak benar di hadapan penyidik ihwal kepemilikan Brilliant Perdana Sakti sebagai milik Haryadi Kumala. "Padahal sebenarnya dimiliki oleh terdakwa," kata Nelly.
Selain itu, jaksa melanjutkan, Cahyadi memerintahkan Roselly Tjung, Suwito, Dian Phurweny, dan saksi lainnya untuk memberikan keterangan yang tidak benar di hadapan penyidik ihwal pengeluaran duit Rp 4 miliar dari Brilliant Perdana Sakti ke PT Multihouse Indonesia atas persetujuan Haryadi Kumala.
"Padahal sebenarnya persetujuan tersebut dari terdakwa untuk diberikan kepada Rachmat Yasin."
Cahyadi dianggap melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Cahyadi diancam hukuman maksimal 12 tahun bui dan denda maksimal Rp 600 juta. Pada dakwaan kedua, Cahyadi dianggap menyuap Rachmat Yasin Rp 5 miliar dalam pengurusan izin tukar-menukar kawasan.
PRIHANDOKO