TEMPO.CO, Yogyakarta - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X meminta polisi menangkap dan memenjarakan pelaku pencoretan dinding terowongan (underpass) Jombor di Kabupaten Sleman. Dia menilai pemenjaraan itu akan memberikan efek jera kepada pelaku, meski masih di bawah umur. “Saya sudah bilang ke polisi. Jangan sekadar dikembalikan ke orang tua. Tapi disel (dipenjara) 1-2 hari,” kata Sultan di Kepatihan Yogyakarta, Kamis, 15 Januari 2015.
Pencoretan dinding underpass di jalur lingkar utara Jombor mulai diketahui awal pekan ini. Coretan itu berupa cat warna putih yang membentuk huruf. Padahal dinding jembatan itu telah dihiasi relief berupa ornamen bunga dan garis perpaduan warna hijau dan kuning. Menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum DIY Rani Sjamsinarsi, relief itu simbol keistimewaan DIY. “Itu infrastruktur pertama yang nuansanya kami buat indah,” kata Rani.
Dia belum memutuskan tindakan terhadap aksi vandalisme itu. “Kami lihat dulu. Enggak langsung diperbaiki, nanti diorek-orek lagi,” kata Rani. Kalaupun akan diperbaiki, dananya tak akan diambil dari biaya perawatan. Namun bukan pula bagian garansi kontrak dengan pengembang. Sebab, kerusakan diakibatkan orang lain, bukan pengembang.
Menurut dia, pejabat pembuat komitmen flyover dan underpass Jombor sudah melaporkan kasus itu ke Kepolisian Resor Sleman. Rani mengimbau agar pelaku sadar bahwa pembangunan infrastruktur itu menggunakan uang rakyat Rp 150 miliar. Dia pun mendukung keinginan Sultan untuk memenjarakan pelaku. “Memang ada aturannya. Saya setuju kalau diajukan ke pengadilan,” kata Rani.
Sebaliknya, seniman aktivis Ong Hari Wahyu menolak keinginan Sultan agar pelaku diproses hukum dan dipenjara. Dia meminta pemerintah menyelesaikan persoalan secara kultural dengan mengajak remaja yang melakukan aksi coret-coret dinding itu duduk bersama. “Karena ini salah pemerintah yang tidak memfasilitasi,” kata Ong.
Dia mencontohkan, pada masa Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, remaja pelaku pencoretan tembok difasilitasi dengan disediakan cat dan kuas. Mereka juga boleh mencoret di tembok tertentu, sebaliknya dilarang mencoret tembok tertentu lain. “Sekarang jadi liar karena tidak difasilitasi dan diberi ruang,” ujar Ong.
PITO AGUSTIN RUDIANA