TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva mengatakan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 tahun 2014 tentang Pembatasan Peninjauan Kembali Perkara Pidana Hanya Sekali tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat. MK sebelumnya sudah memutuskan pengajuan PK bisa lebih dari sekali. Menurut dia, surat edaran itu seharusnya tidak diterbitkan oleh Mahkamah Agung. "Putusan MK itu adalah putusan yang sah menurut konstitusi," kata Hamdan di kantornya, Senin, 5 Januari 2015. "Siapa pun harus taat terhadap keputusan MK." (Baca: MA Putuskan Peninjauan Kembali Hanya Sekali)
Hamdan mengatakan, dalam putusan uji materi Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang diajukan oleh bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, secara tidak langsung juga membatalkan ketentuan yang sama soal peninjauan kembali dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung. Dengan demikian, kata dia, norma hukum di dua undang-undang yang dijadikan dasar hukum penerbitan surat edaran itu menjadi tidak berlaku.
Menurut Hamdan, PK yang diatur dalam UU MA dan UU Kekuasaan Kehakiman bersifat umum karena juga mengatur PK perkara perdata dan tata usaha negara. "Tapi segala hal yang menyangkut pidana itu sudah dibatalkan oleh MK di KUHAP." (Baca: MK Bolehkan Terdakwa Ajukan PK Berulang Kali)
Kepastian hukum setelah putusan MK yang diketuk pada 6 Maret 2014 itu sebenarnya masih ada dalam tingkat kasasi. Kejaksaan Agung, kata dia, tetap bisa mengeksekusi setelah putusan kasasi diketuk. "Pengajuan PK itu adalah upaya yang sangat luar biasa dan harus ada novum yang kuat. Seharusnya, setelah kasasi, itu sebenarnya bisa dilakukan eksekusi."
Hamdan menilai PK berkali-kali dalam putusan MK juga sebenarnya tidak malah memudahkan terpidana mengajukan PK ke pengadilan negeri. "Tetap harus yang menjadi sorotan adalah bukti baru yang signifikan." (Baca: MA Nilai Putusan MK Cacat Hukum)
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat menilai surat edaran yang diterbitkan Mahkamah Agung merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. "Secara lebih tegas, bisa dikatakan ketidakpatuhan dan pelanggaran terhadap putusan MK," ujarnya. Menurut dia, Mahkamah Agung tidak bisa seenaknya menafsirkan sendiri peraturan yang melampaui putusan MK. "Lembaga lain tidak bisa menafsirkan konstitusi berdasarkan pada kewenangan masing-masing," ujarnya.
REZA ADITYA
Berita Terpopuler Lainnya:
Ulama Malaysia Haramkan Yoga dan Kopi Luwak
Jokowi Terima Dua Calon Pengganti Hamdan di MK
Pelesir dan Belanja Sayur Organik di Yogyakarta
Misteri Slot Air Asia, Aroma Kongkalikong Menguat
Tangkap 9 Pengedar, BNN Sita 800 Kg Sabu