TEMPO.CO, Yogyakarta - Penurunan harga bahan bakar minyak bersubsidi, terutama Premium, memaksa pengecer berhitung ulang agar keuntungan yang diperoleh tak menyusut. (Baca: Harga BBM Turun, Tarif Bus Ogah Ikutan Turun)
Pemerintah telah menurunkan harga Premium dari Rp 8.500 menjadi Rp 7.600 per liter, berlaku mulai 1 Januari 2015. Para pengecer menilai harga baru tersebut sangat nanggung, sebab bukan kelipatan Rp 500 yang kerap dipakai sebagai patokan untuk menentukan keuntungan. (Baca: Harga BBM Sudah Sesuai Harga Pasar Dunia)
Biasanya pengecer mengukur untung setelah membagi bensin ke dalam botol-botol takaran yang dianggap berukuran satu liter. Lalu mengambil untung dengan membanderol harga Rp 500 per botol di atas harga resmi.
"Sekarang kalau dijual Rp 8.000 per botol hanya untung Rp 400, mepet sekali," kata Sulastri, 45 tahun, seorang pengecer di kawasan Kelurahan Panembahan, Kecamatan Keraton Yogyakarta, saat ditemui Tempo, Jumat, 2 Januari 2015.
Kini, Sulastri memasang harga eceran Rp 8.500 per botol, turun dari sebelumnya Rp 9.000. Tapi ia menjanjikan isinya lebih banyak dibanding takaran biasanya.
Dengan harga baru itu, ia mendapat keuntungan Rp 900 per botol. Dalam sehari, Sulastri bisa kulakan 2-3 jeriken, masing-masing berisi 34 liter. Ia biasa membeli di SPBU Dukuh, Jalan Bantul, Kecamatan Mantrijeron, atau Jalan Sugeng Jeroni. Selanjutnya, tiap jeriken dibagi menjadi 36 botol takaran yang umum. "Enaknya, sekarang kulakan tidak dibatasi, berapa kali ambil boleh," katanya.
PRIBADI WICAKSONO
Berita Terpopuler:
Korban AirAsia QZ8501 Ketemu, Masih Ada 10 Misteri
Bodi Pesawat Air Asia Sudah Ditemukan?
Janji Tony Fernandes ke Pramugari Korban Air Asia
Dua Spekulasi Kecelakaan Air Asia QZ8501
Pilot Pakai Narkoba, Bos Air Asia: Itu Obat Batuk