TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Arist Merdeka Sirait tak sependapat dengan Dinas Pendidikan Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta ihwal sanksi bagi siswa yang terlibat dalam tawuran, perisakan, narkoba, dan seks bebas. Pemerintah seharusnya bisa memisahkan antara konsekuensi dari pelanggaran yang dilakukan oleh pelajar dan hak anak akan mengenyam pendidikan.
"Konsekuensi akan perilaku menyimpang itu perlu, namun jangan menghilangkan hak anak atas pendidikan," ujarnya ketika dihubungi Tempo, Ahad, 7 Desember 2014.
Menurut dia, pemerintah seharusnya tak menghilangkan hak pendidikan bagi anak dengan cara apapun. (Baca : Pelaku Utama Tawuran Pelajar di Pejaten Diburu)
Pemerintah Provinsi DKI memiliki rencana untuk mengeluarkan siswa yang terlibat tawuran, perisakan, narkoba, dan seks bebas. Aturan tersebut bertujuan untuk mengurangi tawuran pelajar yang kerap terjadi.
Sepanjang Januari-Otober 2013, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) mencatat ada 229 kasus tawuran pelajar. Jumlah ini meningkat sekitar 44 persen dibanding tahun lalu yang hanya 128 kasus. Dalam 229 kasus kekerasan antarpelajar SMP dan SMA itu, 19 siswa meninggal dunia.
Pemerintah, kata Arist, seharusnya fokus pada penyebab pelajar terlibat tawuran bukan fokus pada sanksi bagi siswa yang berujung pada hilangnya akses peserta didik pada pendidikan.
Arist menyarankan, pemerintah untuk memberikan sanksi sosial bagi pelajar yang terlibat tawuran. "Palajar yang terlibat tawuran bisa disuruh kerja bakti membersihkan lingkungan atau bekerja di panti jompo," ujarnya.
GANGSAR PARIKESIT
Berita Terpopuler
'Sikap SBY Jadi Akar Masalah Perpu Pilkada'
Munas Golkar Tandingan Dapat Restu Jusuf Kalla
Anies Stop Kurikulum 2013, Kepala Sekolah Kecewa
JK Kepada Priyo: Munas Tandingan Golkar Mendesak