TEMPO.CO, Jakarta - Saksi ahli pasangan Prabowo-Hatta, Marwah Daud Ibrahim, gagal menjelaskan soal pihak yang diuntungkan dalam hal kekisruhan daftar pemilih tambahan. Dia hanya bisa menjelaskan pola-pola perolehan suara terhadap pasangan calon.
"Persoalan daftar pemilih tambahan ini memunculkan banyak masalah. Ada daerah-daerah tertentu yang jumlah pemilih oplosannya tinggi, ada juga yang rendah," kata Marwah ketika memberi kesaksian sebagai saksi ahli dari kubu Prabowo-Hatta di gedung Mahkamah Konstitusi, Jumat, 15 Agustus 2014.
Istilah "pemilih oplosan" diperkenalkan Marwah untuk menjelaskan jumlah pemilih tambahan sebagaimana tercantum dalam daftar pemilih khusus dan daftar pemilih khusus tambahan. Dia menilai mekanisme untuk memfasilitasi hak pilih itu tidak konsitusional. (Baca: Setelah Putusan MK, Jokowi Akan Bertemu SBY)
"Ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Bagaimana kita bisa menerima presiden yang pemilihnya oplosan?" kata dia. Menurut pemantauannya, jumlah pemilih oplosan saat pilpres mencapai 10 persen dari jumlah total pemilih tetap yang mencapai 180 juta orang.
Ketua majelis hakim konstitusi, Hamdan Zoelva, memotong penjelasan Marwah. Ia mengingatkan agar penjelasannya lebih spesifik dalam menjawab pertanyaan kuasa hukum Komisi Pemilihan Umum, Adnan Buyung Nasution, mengenai siapa yang diuntungkan atas masalah tersebut.
"Tunggu dulu. Saya ingatkan, tadi yang dipertanyakan pihak termohon adalah siapa yang diuntungkan oleh pemilih oplosan itu," ujar Hamdan, yang mengaku lekas mengingat sosok artis komedian ketika mendengar istilah oplosan. "Kalau ngomong soal oplosan, saya jadi ingat Soimah," dia berkelakar. (Baca: Bertayamum Debu Aspal, Massa Prabowo Jumatan di MK)
Peringatan itu rupanya tidak mengubah penjelasan Marwah. Ia kembali menyitir data-data yang dia siapkan dalam bentuk slide. "Pemilih oplosan itu ibarat pesawat yang mesinnya rusak. Dan ini menjadi sumber ketidakpastian, karenanya pemilu harus diulang," kata dia dengan nada terbata-bata.
Di luar persidangan, Marwah menjelaskan daerah dengan pemilih oplosan tinggi, seperti Sumatera Selatan, memperlihatkan kemenangan untuk pasangan Prabowo-Hatta. Sebaliknya, di daerah yang rendah, seperti Bali, kemenangan ada di pihak Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Meski demikian, Marwah tidak bisa membuktikan apakah pola itu sengaja didesain untuk menguntungkan pasangan Jokowi-JK. Ia hanya berasumsi wilayah dengan pemilih oplosan tinggi mengindikasikan banyaknya calon pemilih pasangan Prabowo-Hatta yang dihambat hak pilihnya.
Komisioner KPU Hadar Gumay membantah anggapan tersebut. Menurut dia, daftar pemilih sudah ditetapkan jauh hari sebelum penetapan nama-nama pasangan calon presiden. "Bagaimana mungkin membuktikan adanya kesengajaan untuk menguntungkan pasangan tertentu?" kata dia.
RIKY FERDIANTO
Berita Terpopuler:
Mengapa Pendukung Prabowo Berani Mengancam?
Lima Peran Robin Williams yang Tak Terlupakan
Rute Pendukung ISIS dari Indonesia Menuju Suriah
Sultan Yogya: ISIS Itu Kegagalan Memahami Islam
Chelsea Dapatkan Bek Roma, MU Gigit Jari Lagi