TEMPO.CO , Kupang: Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Nusa Tenggara Timur (NTT) dijual kepada perusahaan pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang biasanya berkedudukan di Pulau Jawa, sebelum dijual lagi ke perusahaan pengerah jasa tenaga kerja di Malaysia dengan harga bervariasi antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per orang.
"Kami ini dijual oleh calo yang merekrut kami dengan harga yang sangat murah," kata mantan TKI asal NTT, Mesak Taklala, 53 tahun yang ditemui di rumahnya, Sabtu, 24 Mei 2014. (Baca:Polisi Bongkar Jaringan TKI Ilegal di NTT )
Mesak yang bekerja sebagai buruh migran sejak 1983-2006 di Malaysia mengaku mengetahui secara deteil praktek perdagangan buruh migran tersebut. Menurut dia, perekrutan buruh migran dilakukan di desa-desa oleh calo, kemudian dijual ke perusahaan (PJTKI) di Jawa. "Tugas calo sampai di situ saja sehingga calo tidak akan tahu lokasi penempatan buruh migran yang direkrutnya," katanya.
Para buruh migran akan ditampung di lokasi tertentu di Pulau Jawa sambil menunggu permintaan tenaga kerja dari perusahaan pengerah jasa tenaga kerja di Malaysia. "Setelah sepakat, buruh migran ini dijual lagi ke perusahaan Malaysia," katanya. (Baca:BNN: TKI Rentan Jadi Kurir Narkoba)
Di Malaysia, katanya, TKI ini akan ditempatkan di lokasi pekerjaan berbeda-beda mulai dari menjadi buruh di perkebunan, pabrik, atau pekerja rumah tangga. "Tingginya harga buruh migran menarik minat masyarakat berlomba-lomba menjadi calon tenaga kerja," katanya.
Baca Juga:
Dia mencontohkan, Walfrida Soik, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang terancam hukuman mati di Malaysia, yang akhirnya bebas, diduga dijual pamannya sendiri ke salah seorang calo.
TKI ilegal yang bekerja di luar negeri, gajinya akan dipotong selama enam bulan sampai setahun untuk pengrusan paspor. Sedangkan, masa kerja mereka hanya dua tahun, sehingga mereka hanya bisa menabung selama setahun bekerja. "Jadi jumlahya hanya belasan juta yang bisa dibawa pulang," katanya. (Baca:265 TKI Terancam Hukuman Mati )
Project Officer Yayasan Tifa Indonesia Yohanes Bria mengatakan beragam cerita pilu buruh migran tersebut tidak menyurutkan niat masyarakat menjadi buruh migran. Kondisi ini akibat minimnya lapangan kerja serta keinginan masyarakat meninggal pekerjaan mereka sebagai petani untuk mencari kehidupan yang lebih baik. "Masyarakat pergi ke luar negeri mencari pekerjaan itu sudah diaggap hal biasa, walaupun ilegal," katanya.
YOHANES SEO
Terpopuler:
Moto E, Ponsel Android KitKat Harga Terjangkau
Jokowi di Kasus Bus, Jaksa: Jangan Berandai-andai
Tengah Malam, Dokter Cantik Datangi KPK