TEMPO.CO, Yogyakarta - Gedung bertingkat itu masih setengah jadi. Proses pembangunannya masih berlangsung. Sejumlah orang terlihat naik-turun membawa material bangunan dan mengerjakan pembangunan. Terletak di tepi Jalan DI Panjaitan, Krapyak, Panggungharjo, Bantul, persis di depan kompleks Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, lahannya diduga menjadi salah satu aset hasil pencucian uang yang dilakukan mantan Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum. “Itu luasnya 274 meter persegi,” kata Suharjo, seorang warga Krapyak, saat ditemui di rumahnya.
Harjo, demikian ia biasa disapa, tahu pasti ukuran luas tanah itu karena enam tahun lalu juragan angkringan itu nyaris menjadi pemiliknya. Pada tahun 2006, Harjo menyewa tanah itu selama lima tahun dari pemiliknya, Mulyo Dikarso, dengan harga Rp 15 juta untuk tempat usahanya, angkringan. Dua tahun kemudian, anak Mulyo yang biasa disapa dengan Pur--tinggal di Solo--menghubunginya melalui telepon. “Waktu itu, tujuh hari sebelum Lebaran, Mas Pur mengontak saya,” katanya.
Pur, kata dia, menawarinya membeli tanah sewaan itu. Harganya Rp 1.900.000 per meter. Harjo pun langsung menyanggupinya. Maklum, selain tanah itu terbilang strategis, angkringannya pun sedang ramai-ramainya. “Rencananya saya mau jual rumah ini,” katanya menjelaskan dana untuk membeli tanah itu. “Terus uang (hasil penjualan) saya pakai beli tanah itu.”
Mulyo, kata dia, sebenarnya tinggal di Sumatera. Untuk memastikan rencana jual-beli tanah itu, Harjo bahkan mendatangi Mulyo di Sumatera. Kepada Harjo, Mulyo mengatakan memang berniat menjual dan sepakat menjadikan Harjo pembelinya. “Sudah setuju saya yang beli,” katanya. Namun, ia melanjutkan, kesepakatan itu belum diwujudkan dalam transaksi jual-beli.
Beberapa saat setelah pertemuan itu ia mendapat panggilan untuk datang ke rumah Pembina Yayasan Ali Maksum, Kiai Attabik Ali, mertua Anas Urbaningrum. Attabik, kata dia, memintanya membatalkan rencana membeli tanah tersebut. “Tapi saya tak mau,” kata Harjo, yang kini memiliki sejumlah angkringan di beberapa tempat di Yogyakarta itu, di antaranya di Krapyak, Wijilan, Gamping, dan Tegalrejo.
Pertemuan usai. Harjo, lelaki asli Bayat, Klaten, itu menganggap persoalan selesai. “Enggak tahunya sebulan setelah itu saya dipanggil ke kantor kelurahan (Panggungharjo),” kata lelaki yang sejak tahun 1989 mulai usaha angkringan itu. Di sana, ia melanjutkan, ternyata sudah ada perangkat desa, Attabik, notaris, bahkan Mulyo. Di depan mereka, Harjo kembali diminta membatalkan rencana membeli tanah itu. “Ya, sudah, akhirnya saya tak bisa apa-apa,” katanya.
Sebagai kompensasi, ia mengatakan ditawari uang pengganti sewa hingga berkali lipat. “Tapi saya tidak mau juga,” katanya. Ia hanya meminta agar diperkenankan menyelesaikan sewa tanah itu hingga waktu lima tahun. Tahun 2010, ia pindahkan angkringan dari tempat itu.
Tempo belum bisa menghubungi Attabik. Pengurus Yayasan sekaligus kerabatnya, Afif Muhammad, mengatakan Attabik sedang sakit. Ia tak mau berbicara untuk mewakili persoalan pribadi Attabik. Ia mengatakan kekayaan Attabik didapat dengan cara halal. Di antaranya royalti sebagai penulis kamus Indonesia-Arab dan usaha percetakan dan penerbitan.
ANANG ZAKARIA