TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Anti Kekerasan (KontraS) Muhammad Daud Beureuh mengaatakan lembaganya telah melaporkan ke Komisi Nasional hak Asasi Manusia akan kesewenang-wenangan Polrestabes Semarang dan salah satu ormas yang membubarkan dan menahan peserta silahturahmi antarkorban 1965/1966.
Daud menuding polisi ngawur karena bukan menghentikan aksi kekerasan ormas melainkan menangkap rombongan korban 65/66 yang sedang menjenguk rekan mereka.
"Polisi ngakunya mau mengamankan 15 korban. Eh tahunya malah di-BAP," kata Daud di Kantor KontraS, Jakarta Pusat, Jumat, 21 Februari 2014.
Daud menyebutkan, petinggi Polrestabes yang bertanggungjawab dalam kejadian itu adalah Kasat Intelkam Polrestabes Semarang AKBP Ahmad Sukandar. Siang tadi, pengaduan KontraS sudah diterima oleh salah satu komisoner Komnas HAM, Roichatul Aswidah.
Didik S, 50 tahun, salah satu korban kesewenang-wenangan polisi pada 16 Februari lalu itu menceritakan, awalnya mereka ber-15 menjenguk rekan mereka yang tergolek sakit, Munandar, 70 tahun. Setelah 20 menit berada di rumah Munandar yang terletak di Kecamatan Banyumanik, Semarang, kata Didik, tiba-tiba terdengar teriakan belasan orang dari luar rumah.
"Salah seorang yang mengenakan setelan hitam-hitam dengan peci haji mengaku dari FPI. Dia menganggap ini pertemuan tanpa izin dan harus dibubarkan," kata Didik di Kantor KontraS.
Setelah minta dibubarkan, kata Didik, orang itu juga mengatakan rekan-rekan mereka yang lebih banyak akan segera datang dari Temanggung, Jawa Tengah. Orang itu mengancam tak bisa menjamin keselamatan Didik dan kawan-kawan jika rekan-rekannya dari Temanggung sudah datang.
"Akhirnya polisi membawa kami ke Polrestabes Semarang. Tiga orang ke Polsek Banyumanik," kata Didik.
Sesampainya di kantor polisi, Didik yang digiring ke Polrestabes Semarang lantas ditempatkan di ruangan terpisah dengan rekan-rekannya. Dua orang diperiksa di ruangan berbeda.
"Di situ saya dibilang ke Semarang untuk ikut diskusi buku Tan Malaka--kebetulan saat itu ada bedah buku Tan Malaka oleh penulis Belanda, Hary Poeze di Semarang. Loh, saya cuma jenguk Pak Munandar kok," kata Didik.
Didik mengakui, dirinya memang bagian dari paguyuban keluarga korban 65/66. Tiap tiga bulan, katanya, anggota memang saling bersilaturahmi. Warga Kampung Rawa Teratai, Cakung, Jakarta Timur, itu mengaku ayahnya hilang hingga kini sejak geger 65 meletus. Dia tak habis pikir kenapa hanya karena menjenguk Munandar malah didakwa melakukan pertemuan dan ingin ikut diskusi Tan Malaka.
"Sepertinya kami dianggap gak punya hak hidup lagi," katanya.
Muhammad Daud Beureuh mengatakan, selain mengadu ke Komnas HAM, mereka juga akan mengadu ke Kompolnas. Dia meminta Polrestabes Semarang ditindak tegas. Dia sangat kecewa karena alih-alih mengusir amuk massa ormas, polisi justru menangkap korban yang hendak mengunjungi rekannya yang sedang sakit.
KHAIRUL ANAM
Terpopuler:
Risma Ingin Sekali Ketemu Mega, Tapi Tak Berani
Akil Diduga Terima Suap Hingga Rp 161 Miliar!
Profil Kontestan Indonesian Idol 2014