TEMPO.CO, Tegal - Cuaca buruk mengakibatkan sejumlah juragan kapal di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah, merugi hingga puluhan juta rupiah. “Perbekalan yang sudah terlanjur dibeli tidak bisa diawetkan,” kata Slamet Riyadi, juragan kapal dari Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, saat ditemui Tempo di ruang tunggu Kantor Syahbandar Kota Tegal, Jumat, 17 Januari 2014.
Slamet mengatakan, kapal berukuran 30 grosston biasanya melaut sampai sekitar satu bulan. Modal melaut untuk kapal berawak 20 hingga 24 anak buah kapal itu sekitar Rp 400 juta. Modal terbesar untuk bahan bakar solar. “Tapi solar kan tidak busuk. Beda dengan sayuran, telur, dan bahan makanan lain,” ujar lelaki 40 tahun itu. Tidak ingin merugi, Slamet dan sejumlah juragan kapal lain mendatangi Kantor Syahbandar untuk meminta surat perizinan berlayar.
Namun, Kepala Kantor Syahbandar,Benny Wahyu berkukuh tidak melayani pengurusan surat perizinan berlayar selama ombak di Laut Jawa masih tidak bersahabat. “Kami tidak mau mengambil risiko. Melaut dalam kondisi seperti sekarang sangat berbahaya,” kata Benny kepada Tempo, Jumat siang.
Kamis lalu, Kantor Syahbandar mengerek bendera hitam sebagai tanda larangan melaut bagi nelayan. Bendera itu dikibarkan hingga Selasa pekan depan. Sebab, ketinggian ombak dari prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencapai 4 sampai 6 meter.
Selama cuaca buruk melanda Laut Jawa sejak Desember 2013, Kantor Syahbandar Kota Tegal sudah dua kali menaikkan bendera hitam. Pertama, pada 27 Desember hingga 2 Januari 2014. Menurut Benny, ketinggian ombak saat itu tidak separah sekarang.
Meski peta prakiraan cuaca BMKG didominasi warna merah sebagai tanda bahaya, sejumlah juragan kapal dan nelayan yang berdatangan ke Kantor Syahbandar tidak terlalu menggubris. “Ombak tinggi itu memang tantangan nelayan,” ujar Agus, 45 tahun, nelayan asal Tegalsari.
Menurut Agus, tiap musim angin barat yang berembus sejak Desember hingga Februari, nelayan pesisir pantai utara (pantura) memilih melaut ke arah barat, seperti di perairan Bangka Belitung. “Berangkat didorong ombak angin barat. Pulangnya nunggu angin timur,” ujarnya.
DINDA LEO LISTY