TEMPO.CO, Yogakarta - Terminal induk Yogyakarta Giwangan mendadak lumpuh, Senin, 11 November 2013. Tak kurang dari 900 awak bus kota yang terdiri dari sopir, kondektur, dan pegawai cadangan dari lima koperasi bus angkutan perkotaan Yogyakarta serempak menggelar aksi mogok beroperasi.
Para awak bus itu memprotes rencana pemerintah DI Yogyakarta yang akan menghapuskan seluruh armada bus kota pada 2015 nanti dan menggantinya dengan bus Trans Jogja.
Aksi mogok itu sendiri mengakibatkan sekitar 300 bus perkotaan umum tak jalan. Sedari pukul 06.30 WIB, para awak bus dari sejumlah perusahaan angkutan, seperti Puskopkar, Aspada, dan Kobutri, itu memarkir busnya di sejumlah koridor sisi barat dan selatan terminal. Bahkan, di koridor barat terminal, pada sebanyak tiga jalur menumpuk puluhan bus yang membuat akses terminal sempat macet. Lucunya, sopir bus milik pemerintah, Damri, pun ikut mogok dan mengandangkan busnya di tempat lain, bukan terminal.
Pantauan Tempo, sejumlah jalur di Yogyakarta jadi mendadak sepi dan hanya Trans Jogja yang terlihat segelintir beroperasi. Para sopir itu dari terminal menggeruduk bersama DPRD DIY.
Koordinator aksi yang juga sopir bus Puskopkar, Benny Wijaya, menuturkan, para sopir sakit hati setelah adanya anggota DPRD DI Yogyakarta selaku Wakil Ketua Komisi C Arif Rahman Hakim melontarkan rencana penghapusan bus kota umum dengan Trans Jogja.
Para sopir tak setuju penghapusan itu karena selama puluhan tahun bus kota menjadi mata pencaharian mereka. “Pemerintah tidak pernah membawa persoalan ini melalui dialog, tiba-tiba mengeluarkan rencana seperti tahu kondisi lapangan dan bisa menyelesaikan persoalan,” kata Benny.
Para sopir semakin khawatir kehilangan pekerjaan manakala dari rencana yang dituangkan pemerintah itu hanya bisa disediakan sekitar 150 bus Trans Jogja untuk mengganti 300 bus umum yang beroperasi. “Lalu sisanya suruh nganggur?” ujar Benny. Setiap bus kota, kata dia, biasanya menafkahi sekitar tiga orang.
Artinya, dengan jumlah bus yang mampu disediakan pemerintah itu, para sopir memprediksi akan terjadi peningkatan pengangguran karena tidak bisa beroperasinya bus kota. “Kami sakit hati saat bus kota sekarang diminta dibawa ke Karsuli (pusat rongsokan) untuk dijual,” kata Benny, yang meminta Arif Rahman Hakim meminta maaf atas pernyataannya itu.
Menurut para sopir, seharusnya pemerintah tak serta-merta menghapus bus kota, tapi memperhatikan dengan mendukung peremajaannya. “Kalau mereka bilang tak layak jalan, yang salah Dinas Perhubungan, kenapa uji KIR tetap lolos. “
Sopir bus lain, Sutrisno, menuturkan bahwa pemerintah pun harus segera membatalkan rencana penambahan jalur Trans Jogja di lima titik yang sedang digarap. Yakni Gentan, Godean, Gamping (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), serta Bantul.
“Jangan semakin menekan para sopir bus yang sudah makin berkurang pendapatannya karena jalur yang terus diserobot Trans Jogja,” kata Sutrisno, yang mengancam akan menggeruduk Dinas Perhubungan DIY untuk membubarkan Trans Jogja jika aksi tak didengarkan.
Sutrisno mengungkapkan, selama ini para awak bus kota sudah cukup bersabar penghasilan mereka ditekan oleh pemerintah melalui perlakuan istimewa Trans Jogja. Pendapatan bersih awak bus yang dulu per hari bisa Rp 75-100 ribu berkurang menjadi sekitar Rp 25-60 ribu per hari begitu muncul Trans Jogja pada 2008.
Adapun yang paling disesalkan para sopir adalah tindakan pemerintah yang asal main pasang halte portable di jalur-jalur strategis, seperti jalur 2, 4, 7, 12, 9, dan 15.
PRIBADI WICAKSONO