TEMPO.CO, Bandung- Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) Kota Bandung mendesak organisasi Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMA dan SMK serta SMP menghentikan pungutan uang dari siswa. Selain pungutan itu tanpa dasar hukum yang jelas, kumpulan uangnya terhitung jumbo. Jumlahnya diperkirakan Rp 1,7 miliar lebih per tahun.
Ketua Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) Kota Bandung Iwan Hermawan mengatakan, pungutan itu setidaknya diketahui sejak 2000. Walau laporan keberatan sudah beberapa kali disampaikan ke berbagai pihak lewat media seperti ke kepala sekolah dan Dinas Pendidikan Kota Bandung, pungutan masih terus berlangsung hingga saat ini. "Setiap SMA dan SMK sekarang wajib setor Rp 17 ribu per siswa setiap tahun," kata Iwan, Ahad, 6 Oktober 2013.
Pungutan itu tiap tahun selalu naik. Kini dengan perkiraan jumlah siswa SMA serta SMK negeri dan swasta sebanyak 117 ribu orang, dana siswa yang terkumpul lebih dari Rp 1,7 miliar.
Adapun dari keterangan kepala SMP, MKKS memungut dana yang bersumber dari dana bantuan operasional sekolah (BOS). "Pungutan itu wajib diberlakukan, kalau tidak sekolah akan dikucilkan," ujarnya.
FAGI dan sejumlah elemen serta aktivis pendidikan khawatir dana pungutan itu dipakai tak jelas. Iwan menduga penggunaannya antara lain untuk penyelesaian masalah sekolah, pelicin untuk penilaian akreditasi sekolah, serta penilaian kinerja sekolah agar hasilnya bagus. Selain itu, uang pungutan dipakai untuk hiburan kepala sekolah, seperti menyewa pemain organ tunggal dan memancing.
Iwan mengusulkan agar MKKS sekarang ini di non-aktifkan, selanjutnya diperbaiki lagi fungsinya tanpa memungut uang dari siswa. "Kami sudah laporkan ke ICW (Indonesia Corruption Watch) dan Walikota Bandung untuk mencegah indikasi korupsi," kata guru yang juga Wakil Kepala SMAN 9 Bandung tersebut.
Kepala SMAN 20 Bandung Asep Turniawan mengatakan, organisasi MKKS resmi dibentuk Kementerian Pendidikan sejak 1994. Fungsi utamanya sebagai wadah untuk koordinasi antar kepala sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
"Namun soal biaya organisasi dan operasionalnya tidak ada dari pemerintah," ujarnya.
Karena itu, kepala sekolah sepakat patungan, termasuk untuk biaya kerja Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) yang dibentuk berdasarkan rayon, misalnya K3S wilayah Bandung Utara yang mencakup 26 SMA negeri serta swasta.
Menurut Asep, pungutan itu sukarela atau kepala sekolah tidak dipaksakan membayar. Penarikan dana itu dilakukan tidak langsung ke siswa, melainkan lewat Rencana Anggaran dan Kegiatan Sekolah (RAKS). Jumlah pungutannya tidak tentu setiap tahun, karena program kerja MKKS sejak 4 tahun belakangan nihil.
"Insidental saja, seperti untuk menanggung 100 siswa titipan dari Papua. Pemerintah tidak menanggung biaya hidup dan tinggal, kami yang menyediakan," ujarnya.
Mantan Ketua MKKS SMK Kota Bandung periode 2006-2007 Dedi Indrayana mengatakan, pungutan dari siswa untuk patungan sekolah itu paling banyak dipakai untuk makan dan minum rapat koordinasi. Rapat misalnya terkait ujian nasional, penerimaan siswa baru, dan pelatihan guru mata pelajaran. Sebagian dana juga pernah dipakai untuk rapat di lokasi wisata seperti Pantai Pangandaran.
"Kalau kepala sekolah berhalangan, bisa wakilnya, tapi tidak bersama keluarga," kata Dedi. Besarnya uang siswa SMK yang dikumpulkan ketika itu Rp 7.000 per orang per tahun.
ANWAR SISWADI