TEMPO.CO, Yogyakarta - Aktivis yang tergabung dalam Jaringan Anti Korupsi (JAK) Yogyakarta mendesak Mahkamah Konstitusi menggandeng KPK untuk membersihkan lembaga ini dari oknum korup. Zainur Rohman, aktivis JAK Yogyakarta menyatakan operasi tangkap tangan KPK, yang menciduk Ketua MK, Akil Mochtar, karena diduga menerima suap di rumah dinasnya pada Rabu malam kemarin, merupakan tamparan telak bagi MK. "Padahal selama ini MK dianggap publik lembaga tinggi negara bersih seperti KPK," kata Rohman saat menggelar jumpa pers di Sekretariat Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM pada Kamis, 3 Oktober 2013.
Rohman mengatakan respon MK untuk membantu KPK menjerat seluruh pihak yang terkait dengan dugaan suap persidangan kasus Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah, ini penting agar kredilitas institusi MK tidak terpuruk. Kata dia dukungan MK itu untuk menjaga kepercayaan publik agara kasus ini tidak mendorong wacana delegitimasi MK sebagai lembaga tinggi negara dengan peran strategis. "MK harus mengembalikan kepercayaan publik," kata dia.
Sementara itu, di tempat yang sama, Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM, Zaenal Arifin Mochtar mendesak Majelis Kehormatan Hakim Mahkamah Konstitusi (MKH MK) segera memutuskan pemberhentian Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Menurut Zaenal penangkapan Akil di rumah dinasnya dalam Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semalam sudah cukup menjadi alasan pemberhentiannya. "Tidak perlu menunggu statusnya menjadi tersangka," kata Zaenal.
Ia mengatakan semestinya MKH MK segera bekerja untuk membahas keputusan mengenai nasib Akil di MK sejak hari ini. "Kalau belum, harus segera dibentuk (MKH) dan mengambil keputusan tegas," ujar dia.
Menurut Zaenal semakin cepat MKH MK mengambil keputusan mengenai pemberhentian Akil akan berakibat positif bagi citra MK di depan publik. "Tidak perlu menunggu proses hukum (Status Akil masih terperiksa di KPK). Karena dia (Akil) patut diduga melakukan pelanggaran etik," ujar dia.
Zaenal menambahkan kasus dugaan penerimaan suap yang membelit Akil perlu mendapatkan penyikapan secara tepat dari MK. Menurut dia Mahkamah harus terbuka pada publik dengan menjelaskan secara transparan hasil penyelidikan internal pada kasus ini. "Termasuk bagaimana nasib kasus Pilkada Kabupaten Gunung Mas," kata dia.
Zaenal juga khawatir penangkapan Akil akan mencoreng kredibilitas MK yang selama ini terkenal sebagai salah satu lembaga negara yang bersih. Menurut dia pertimbangan ini seharusnya mendorong MK mengambil sikap konstruktif, dan bukan malah reaktif, untuk membantu KPK menuntaskan kasus ini. "Tangkap tikusnya, tapi jangan bakar lumbungnya," kata Zaenal.
Penangkapan Akil, menurut Zaenal memberikan pelajaran penting mengenai perlunya pelembagaan instrumen pengawasan internal yang ketat di lembaga negara dengan posisi strategis seperti MK. Selain itu, konsep seleksi hakim Mahkamah juga penting dikaji ulang agar tidak mudah diisi oleh ahli tata negara yang tidak memiliki profesionalitas dan integritas.
"Sebelum kasus ini, banyak kasus lain sudah mencuat di MK dan tidak jelas ujungnya." Makanya, dia melanjutkan "Jangan hanya karena mantan anggota DPR atau dekat dengan presiden diangkat jadi hakim MK," ujar dia.
Pakar tata negara Fakultas Hukum UMY, Iwan Satriawan, mengkritik proses seleksi hakim MK yang memberikan peluang masuknya politisi ke lembaga tinggi negara. Kata dia Akil dan satu tersangka lain, CN, berasal dari partai yang sama, Golkar, sehingga memperkuat dugaan relasi politik menjadi pemicu suap. "Selama ini hanya mengisi pernyataan tidak aktif di partai, sementara Akil menjadi calon hakim MK setelah pensiun dari status anggota DPR dari Golkar 1999 sampai 2009," kata dia.
Menurut Iwan, idealnya calon hakim MK bukan berasal dari partai politik. Atau, dia melanjutkan, ada jeda lama antara waktu pencalonannya menjadi hakim MK dengan aktivitas di partai. "Idealnya sudah berhenti selama lima tahun dari aktivitas politik," kata dia.
Dia berpendapat penangkapan ketua MK merupakan penanda masih kelamnya jejak reformasi hukum di Indonesia. Kata dia, apabila tidak direspon secara konstruktif oleh internal MK dan tidak ada perbaikan dalam proses rekrutmen calon hakim, kasus ini bisa membuat lembaga ini makin terpuruk reputasinya. "Ini hook telak bagi MK, apalagi kalau ada kasus lainnya muncul," ujar dia.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM