TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hasan Bisri mengungkapkan, sampai hari ini masih ada kantor akuntan publik yang bandel. Mereka tidak melaporkan temuan pelanggaran dalam laporan keuangan Badan Usaha Miik Negara (BUMN). "Kami menemukan masih ada rekayasa," kata Hasan dalam diskusi bertajuk 'Kekayaan Negara yang Dipisahkan: Apakah Tidak Termasuk Keuangan Negara?' di Gedung BPK, Kamis, 12 September 2013.
Hasan menjelaskan, salah satu modusnya, BUMN mencatatkan piutang sebagai pendapatan. Tujuannya, agar bonus untuk manajemen dan laba naik. "Ini modus yang relatif kuno masih dilakukan, sering kantor akuntan publik tidak mengoreksi atau menuliskan dalam laporan auditnya," ucapnya.
Hasan khawatir rekayasa akan makin jadi jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Forum Hukum BUMN dan Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia, bahwa kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN lepas dari kekayaan negara dan keuangan negara. "Jika gugatan ini dikabulkan, BPK tidak berwenang lagi melakukan pemeriksaan terhadap BUMN," kata dia. Artinya, BPK tak lagi berwenang mengevaluasi kantor akuntan publik yang melakukan audit terhadap BUMN.
BPK juga tak lagi berwenang memeriksa lembaga negara lainnya yang masuk kategori kekayaan negara yang dipisahkan seperti Lembaga Penjamin Simpanan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), Satuan Kerja Khusus Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), termasuk Perguruan Tinggi pelat merah. Ujung-ujungnya, keuangan daerah, pendapatan, belanja daerah, dan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dalam BUMD juga bisa digugat untuk lepas dari keuangan negara.
Jika gugatan tersebut dikabulkan, Hasan mengkhawatirkan, komisaris, direksi, atau manajemen yang melakukan penyelewengan di BUMN dan merugikan negara juga tak bisa dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi melainkan hanya tindak pidana umum. "Ini tidak sejalan dengan pemberantasan korupsi yang kita sedang galakkan," ujarnya.
Ia mengingatkan peristiwa tumbangnya ratusan perusahaan pada krisis 1998-1999. Kantor akuntan asing menemukan banyak manipulasi transaksi yang dilakukan sejumlah perusahaan tersebut jauh sebelum krisis. Namun kantor akuntan publik yang mengaudit nyatanya selalu memberi catatan wajar tanpa pengecualian dan clear pada perusahaan yang dimaksud. "Ini baru diketahui setelah BPPN mengerahkan 10 kantor akuntan asing untuk due diligence ratusan perusahaan," katanya.
MARTHA THERTINA