TEMPO.CO, Yogyakarta - Seorang guru sekolah bekas RSBI yang berstatus pegawai negeri sipil dari Gunungkidul, berinisial K, melaporkan kasus pemotongan tunjangan sertifikasi ke Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan DIY dan Jawa Tengah Selatan pada Senin sore lalu. Dia mengirim berkas laporan yang dilengkapi berbagai dokumen sebagai bukti dugaan pemotongan itu mulai dari sejumlah surat keputusan penentu besaran tunjangan hingga catatan pengiriman gaji di rekeningnya.
Dia mengatakan laporannya berkaitan dengan pengurangan nilai tunjangan sertifikasi, yang dia terima selama dua triwulan, pada 2013. Menurut dia, nilai tunjangan sertifikasinya pada 2013, di setiap triwulan, harus sesuai dengan besaran tiga kali gaji pokoknya saat ini. "Per Januari 2013, gaji pokok saya naik. Ini sesuai dengan PP Nomor 32 Tahun 2013 mengenai kenaikan gaji PNS," kata dia, Selasa, 3 September 2013.
Menurut dia, gaji pada 2013, yang sudah mengalami kenaikan, mencapai Rp 3.861.000. Artinya, kata dia, tunjangan sertifikasi untuknya harus mencapai Rp 9.845.550. Hitungan itu berdasar penjumlahan tiga kali gaji pokoknya dan dipotong pajak penghasilan sebanyak 15 persen. Simulasinya, tiga kali gaji pokok sebesar Rp 11.583.000 dikurangi 15 persen, yang sebesar 1.737.450, sehingga tersisa menjadi Rp 9.845.550.
Namun, kata K, nilai tunjangan sertifikasi yang sudah dia terima selama satu semester terakhir hanya mencapai Rp 9.106.305 setiap triwulan. Kata dia, nilai itu sama dengan tunjangan sertifikasi yang dia terima setiap triwulan pada 2012 lalu. "Jadi, nilai tunjangan sertifikasi saya didasarkan pada gaji pokok saya sebelum naik seperti tahun lalu," ujar dia.
Menurut K, setiap tahun, nilai tunjangan sertifikasinya memang selalu tidak setara dengan gaji pokoknya. Pada 2012, kata dia, nilai tunjangan sertifikasi juga hanya sesuai gaji pokok tahun sebelumnya. "Setahu saya hampir semua guru di Gunungkidul mengalami kasus seperti ini, tapi takut lapor," ujar dia.
Dia mengaku juga pernah mengalami penghentian pemberian tunjangan sertifikasi selama tiga semester selama 2010 sampai 2011. Sebabnya, dia tidak menerima jatah jam mengajar dari sekolahnya yang bisa mencukupi target syarat menerima tunjangan sertifikasi, yakni 24 jam selama sepekan. "Jam mengajar saya dipangkas sekolah karena saya sering protes. Baru bisa berlanjut lagi tunjangannya setelah saya urus hingga ke Bupati dan Disdikpora DIY," ujar dia.
Sumber guru lain di Gunungkidul mengatakan kepada Tempo, bentuk pemotongan masih ada yang berupa penarikan dana dari para guru sertifikasi, yang dilakukan oleh oknum dinas. Paling parah, kata dia, adalah penarikan dana, untuk berbagai keperluan, yang harus diberikan oleh para guru di tingkat SMP dan SD.
"Di tingkat SD ada istilah koordinator, sementara di SMP ada sebutan Tim Sertifikasi." "Mereka yang mengkoordinasi penarikan dana setelah para guru menerima pengiriman tunjangan di rekeningnya," ujar sumber tadi.
Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan DIY, Budhi Masturi, mengatakan akan segera memanggil Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Gunungkidul untuk mengklarifikasi laporan ini. Ombudsman, kata dia, juga akan memanggil Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga DIY karena status kepegawaian guru bekas RSBI masih di bawah koordinasti instansi ini, meskipun urusan tunjangan sertifikasi ditangani oleh pihak kabupaten. “Berkas bukti laporan K lumayan lengkap sehingga bisa menggambarkan secara jelas modus pemotongan,” kata dia.
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Gunungkidul, Sudodo, belum bisa dikonfirmasi mengenai hal ini. Kepala Dinas Disdikpora DIY, Baskara Aji, juga belum menjawab permintaan kontak Tempo.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM