TEMPO.CO, Yogakarta - Terdakwa penyerangan dan pembunuhan empat tahanan di LP Cebongan Sersan Dua Ucok Tigor Simbolon siap bertanggungjawab. Pernyataan itu disampaikan Ucok di samping ruang tahanan Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta kepada Tempo, Kamis 11 Juni 2013. "Saya harus pertanggungjawabkan, ini sudah terjadi. Kalau boleh jujur, saya tidak ada untungnya. Tetapi bagaimana sih, orang yang sudah dekat diperlakukan seperti itu," kata Ucok yang diduga mengeksekusi empat tahanan LP Cebongan hingga tewas pada 23 Maret 2013.
Berikut petikan wawancara Tempo dengan Sersan Dua Ucok Tigor Simbolon:
Apakah penyerbuan dan pembunuhan itu direncanakan?
Tidak, kalau saya tidak ditunjukkan saya tidak tahu. Dari beberapa saksi kan ada yang menunjukkan.
Menurut anda, bagaimana jalannya insiden itu?
Kejadian itu begini, sebetulnya setelah mutar-mutar mencari si Marcel, ada yang sudah mengajak pulang, ada yang sudah tidur lah, apalagi ada senior saya di situ. Kan ada bang Suprapto. Lalu ada informasi Deki dan kawan-kawan (korban penembakan) dipindahkan ke sana (Cebongan). Sebenarnya hanya mau bertanya sama Deki, dimana Marcel. Kita kesana (Cebongan) mau nanya si Marcel. Hanya ingin tahu dan tanya: “Kamu ini ada masalah apa dengan almarhum Santoso. Kok keji sekali.”
Setelah itu apa yang anda lakukan?
Saya masuk buka pintu sel itu biasa, dengan cara biasa. Tahu-tahu saya dipukul dari balik pintu. Saya jatuh dan memegang senjata. Saat itu saya bertahan saja. Kalau ada jarak pasti ada penembakan peringatan.
Kenapa masuk sampai sel Deki?
Karena sipir tidak mau memanggil mereka. Kalau mau memanggilkan, tidak akan terjadi penembakan.
Tugas sipir kan menjaga mereka?
Maaf saja, waktu itu kan mereka tidak tahu saya dari Kopassus. Tahunya dari Polda. Mereka (sipir) ternyata hal biasa jika malam menerima tahanan dibawa Polda.
Kertas berkop Polda yang dibawa itu benar?
Waduh itu kertas asal comot saja. Itu mungkin berkas istri saya. Saya tidak tahu itu berkas apa. Kan jam segitu mau masuk LP kan nggak mungkin kalau mau bezuk. Makanya satu-satunya orang yang bisa masuk adalah instansi polisi (polda). Saya teringat kan juga membawa senjata mainan (replika) juga.
Setelah penembakan itu apa yang terjadi?
Kawan-kawan yang lain di mobil itu ribut, bahkan Koptu Kodik bilang: “Ngopo kok nembak, ngopo kok nembak.” Saya marahin, dia gak tahu
kondisi di dalam: “Sudah diam aja lu.” Sebenarnya mereka sudah mencegah saya sebelum berangkat. Intinya mas, saya datang ke LP tidak untuk menyerang. Seandainya sipir penjara itu memanggilkan si Deki ke ruang Portir, saya akan menanyakan di situ. Ketika di sel saya diserang, saya bertahan hidup. Naluri saya, senjata bagi saya tidak boleh pisah. Senjata harus melekat.
MUH SYAIFULLAH