TEMPO.CO, Kediri - Pemerintah Kabupaten Kediri, Jawa Timur menolak memberikan talangan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) kepada masyarakat yang tak terjaring rumah tangga sasaran. Seluruh kepala desa juga sepakat menolak terlibat pendistribusian BLSM akibat amburadulnya data pemerintah pusat.
Juru bicara Pemerintah Kabupaten Kediri Edie Purwanto mengatakan karut marut pembagian BLSM ini murni kesalahan pemerintah pusat dalam melakukan verifikasi orang miskin. Sejak awal pemerintah daerah khususnya perangkat desa dan kelurahan tidak dilibatkan sama sekali. "Kenapa setelah kacau kami diminta menambal," kata Edie kepada Tempo, Rabu 10 Juli 2013.
Baca Juga:
Permintaan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono kepada pemerintah daerah untuk menambah kuota penerima BLSM menggunakan kas daerah, menurut Edie, sangat tidak tepat. Sebab pengeluaran uang satu rupiah pun dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah harus melalui perencanaan dan mekanisme keuangan. Tidak bisa kemudian tiba-tiba mencomot anggaran untuk BLSM yang tidak dianggarkan sebelumnya. Apalagi saat ini penetapan Perubahan Anggaran Keuangan APBD 2013 sudah memasuki tahap pembahasan dan tidak bisa mundur lagi.
Edie menambahkan, distribusi BLSM tahun ini paling kacau dibandingkan distribusi bantuan langsung tunai beberapa waktu lalu. Di Kabupaten Kediri sendiri jumlah penerima BLSM yang tidak tepat sasaran cukup besar dan menuai reaksi masyarakat. Karena itu sejak awal sebanyak 343 kepala desa dan satu kepala kelurahan di Kabupaten Kediri menolak terlibat pendistribusiannya. "Daripada kami yang jadi sasaran," kata dia.
Sikap yang sama disampaikan Pemerintah Kabupaten Nganjuk yang menolak mengucurkan dana talangan BLSM. Mereka merasa telah cukup terbebani dengan kacaunya data rumah tangga sasaran hingga menimbulkan gelombang unjuk rasa ke kantor desa. "Kami tidak menyiapkan dana itu," kata Humas Pemkab Nganjuk Abdul Wachid.
Distribusi BLSM yang berjalan di daerahnya hampir seluruhnya bermasalah. Data rumah tangga sasaran yang direkomendasikan Badan Pusat Statistik diketahui data lama yang tidak pernah diperbarui. Bahkan sempat terjadi kekacauan di Kecamatan Loceret dimana perangkat desa berinisiatif memotong Rp 100 ribu dari nilai Rp 300 ribu yang diterima rumah tangga sasaran.
Hal ini dimaksudkan memperluas penerima BLSM yang tak terjaring data BPS. Namun hal itu justru menuai demonstrasi warga yang menganggap terjadi penyunatan. Karena itu Pemerintah Nganjuk dengan tegas menolak menambah quota penerima BLSM menggunakan APBD karena dianggap bukan solusi tepat.
HARI TRI WASONO