TEMPO.CO, Jakarta - Konflik, sekalipun terjadi beberapa puluh tahun silam, punya potensi bara yang bisa meluap kapan saja. Dendam yang belum selesai bisa tersulut di generasi kedua, ketiga atau bahkan keempat. Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) ingin menghindari terjadinya konflik berulang di antara generasi penerus orang yang bertentangan pada konflik di masa lalu.
Pada ulang tahunnya yang ke-10, wadah komunikasi anak-anak para pahlawan revolusi, eks PKI, eks DI/TII, eks PRRI/Permesta ini meluncurkan buku "The Children of War": Berhenti mewariskan konflik, tidak membuat konflik baru". Buku yang akan diluncurkan Rabu, 3 Juli 2013 malam, di kompleks Parlemen Senayan ini, ingin mengajak warga Indonesia sepakat mencari solusi damai atas konflik di masa lalu. Rencananya, peluncuran buku akan mengundang beberapa tokoh nasional seperti presiden keempat Indonesia Megawati Soekarnoputri.
Disusun selama dua tahun, buku ini diharapkan bisa menjadi pemantik gerakan moral saling memaafkan di antara anak dan cucu korban konflik 1965 dan aneka konflik lain yang terjadi di Indonesia. Walau belum ada model rekonsiliasi konflik yang ditawarkan. "Buku ini pengalaman generasi kedua dan ketiga anggota keluarga yang pernah terlibat konflik di masa lalu dan komitmen untuk menyelesaikan, secara sukarela berdamai," kata Letnan Jenderal (Purn.) Agus Widjojo, salah satu pembina FSAB.
Agus menyadari usaha menyelesaikan konflik di masa lalu akan terganjal keengganan untuk membuka kembali luka lama, atau memperdebatkan siapa yang benar dan salah. Padahal masyarakat Indonesia enggan untuk berdebat. "Tetapi ini persoalan bangsa, dalam konflik semua punya tanggung jawab untuk menyelesaikan," kata dia.
Apalagi, Indonesia sudah ketinggalan dibanding beberapa negara lain yang sudah bisa berdamai dengan masa lalunya. Di antaranya Jerman, Kamboja dan Timor Leste. "Setidaknya mereka sudah memulai berdamai, sedang Indonesia belum," dia menuturkan.
Terbagi menjadi 11 bab, buku ini disusun oleh Nina Pane, Stella Warouw dan Bernada Triwara Rurit. Masing-masing bab membawa pembaca memahami trauma anak korban konflik, dan usahanya menyembuhkan luka dan amarah. "Sebagai orang luar, mulanya saya menyangsikan apa mereka bisa saling memaafkan, bersatu, setelah masuk ke dalam saya bisa lihat persaudaraan dan persahabatan mereka, dan mungkin bisa menjadi ikon nasionalisme," kata Nina.
ARYANI KRISTANTI
Topik terhangat:
Tarif Progresif KRL | Capres 2014 | Ribut Kabut Asap | PKS Didepak?
Berita lainnya:
Wartawati Korban Pemerkosaan Mulai Terbuka ke Polisi
PAN Tolak RUU Ormas, 'Pecat Besan!'
Agnes Monica Bantah Ubah Nama Jadi 'Montana'
Suswono: Bodohnya Pengusaha Bisa Dibohongi AF
Demonstran Wanita 'Diraba-raba' di Tahrir Square
Wiranto Siap Tanggung Jawab Kerusuhan Mei 1998