TEMPO.CO, Jakarta- Pandangan dan aplikasi atas Pancasila oleh tiga presiden yang pernah memimpin negeri ini dibedah. Ketiganya sama-sama sudah almarhum, yakni Sukarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Mereka dinilai mempunyai landasan pemikiran kuat atas nilai-nilai Pancasila dibandingkan tiga presiden lain, seperti BJ Habbibie, Megawati Soekarnoputri, juga Soesilo Bambang Yudhoyono.
“Megawati tak dipilih karena dinilai mempunyai hubungan politis dan biologis dengan Sukarno. Begitu pula BJ Habibie dinilai mempunyai kedekatan dengan Soeharto,” kata budayawan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LkiS) Yogyakarta Hairus Salim yang menjadi moderator dalam seminar bertema Pancasila dalam Pemikiran dan Praktik Politik Tiga Pemimpin: Soekarno, Soeharto, Abdurrachman Wahid di auditorum Fisip Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Senin 3 Juni 2013.
Tiga pembicara dianggap mewakili mengetahui pemikiran ketiga presiden tersebut. Ada Sudjito, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang sekaligus Kepala Pusat Studi Pancasila UGM yang bicara soal Soeharto. Ada Untoro Hariadi, konsultan politik DPD PDIP DIY yang tentu saja bicara tentang Sukarno. Juga Nur Khaliq Ridwan, aktivis Gusdurian sekaligus penulis buku berjudul Gus Dur dan Negara Pancasila.
Namun Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang menjadi pembicara kunci menyampaikan perbedaan ketiganya. Bahwa Sukarno adalah penggagas Pancasila yang lahir pada 1 Juni. Soekarno mempunyai komitmen kuat untuk menjadikan Pancasila sebagai spirit untuk merebut kemerdekaan.
Soeharto bak menara gading. Pancasila disampaikan dengan metode doktrin. Akibatnya, tidak ada ketersambungan antara Pancasila secara teori dan praktik. “Bahkan penataran P4 banyak dianggap sebagai pembuat jarak antara teori dan praktik dari nilai-nilai Pancasila,” kata Hemas.
Sedangkan Gus Dur menjadikan Pancasila sebagai ideologi final. Dia membuang pemikiran dan dogma yang dianggap out of date. Seperti menghapus pelarangan konsep Marxisme mengingat ideologi Marx dipelajari di kampus-kampus. Kemudian era komunis yang sudah mati sejalan jatuhnya Soviet. Juga menghapus dendam sejarah masa lalu.
Sepak terjang Soeharto dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila lebih banyak disorot. Apalagi munculnya pencitraan dirinya menjelang 2014 dengan sindiran melalui poster, stiker, dan kaos yang dijual bebas. Piye kabarmu le? Luwih apik zamanku to? “Itu sindiran. Dan justru laris,” kata Sudjito.
Bagi Soeharto, lanjut Sudjito, Pancasila dan UUD 1945 adalah harga mati. Tidak perlu ada yang diperdebatkan lagi. “Yang penting bagi Soeharto, nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dilaksanakan secara murni dan konsekuen,” kata Sudjito.
Untoro pun mengkritik Orde Baru yang dinilai salah karena membiarkan Pancasila diinternalisasi melalui penataran P4. Sedangkan metode yang digunakan adalah indoktrinasi. “Implementasinya? Mahasiswa ditatar P4, tapi penyelenggara negara dibiarkan korupsi, kolusi, nepotis,” kata Untoro.
PITO AGUSTIN RUDIANA