TEMPO.CO, Malang -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memediasi sengketa lahan antara petani dengan Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh Malang. Mediasi menghadirkan perwakilan warga, Komandan Pangkalan Udara TNI Udara Abdulrachman Saleh Malang Marsekal Pertama Gutomo, dan Bupati Blitar Herry Noegroho di sebuah hotel di Malang, Kamis, 25 April 2013.
"Hasilnya, petani diberi kesempatan menggarap lahan dan bermukim di lahan yang menjadi obyek sengketa," kata Direktur Solidaritas Masyarakat Desa, Farhan Mahfudzi. Di atas lahan seluas 32,9 hektare itu rencananya bakal dibangun lapangan terbang yang dikelola Pemerintah Kabupaten Blitar.
Warga keberatan dengan rencana tersebut karena telah menempati dan bermukim selama tiga generasi. Total sebanyak 75 kepala keluarga dalam 64 rumah yang mendiami lokasi sengketa. Mereka juga menggarap lahan secara turun-temurun untuk lahan pertanian nanas, tebu, ketela, dan pepaya. "Tanahnya subur, saya lahir di sini," kata warga setempat, Maryono, 43 tahun.
Warga juga mengajukan hak kepemilikan tanah negara menjadi objek reformasi agraria. Namun, proses masih berlangsung dan belum ditetapkan sebagai objek reformasi agraria. Warga terusik setelah TNI Angkatan Udara mengklaim memiliki hak guna pakai sejak 1992. Apalagi setelah tersiar kabar lahan tersebut akan dibangun lapangan terbang. "Kami punya bukti. Lahan ini dulu tanah kas desa yang dikuasai pemerintah Belanda," kata Direktur Farhan Mahfudzi.
Gutomo menyatakan pihaknya memberikan kesempatan kepada warga yang menggarap lahan dengan sistem sewa. Ia berharap kesepakatan ini menjadi pengikat dan semua pihak saling menghormati hasil mediasi ini. Mengenai penyelesaian sengketa lahan dengan warga Ponggok Blitar, menurut dia, sudah ada kemajuan. Para pihak yang bersengketa mulai menjajaki untuk mencari solusi atas lahan yang disengketakan. "Kami juga membayar pajak dan laporan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Negara," kata Gutomo.
Ia menjelaskan, total ada dua ribu hektare lahan yang dikuasai Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh Malang. Namun, sekitar 30 persen masih sengketa dengan petani dan warga setempat. Lahan menjadi obyek sengketa itu tersebar di Malang, Pasuruan, Blitar, dan Lumajang. Sengketa tengah menjalani proses penyelesaian secara hukum. "Ada yang proses hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung," kata Gutomo.
Komisioner Komnas HAM Subkomisi Mediasi, M. Imdadun Rahmat, menilai proses mediasi berjalan lancar. Mediasi yang dilakukan secara tertutup selama lima jam lebih ini mulai menemukan titik terang. Masing-masing pihak, katanya, mulai melunak dan bersedia saling mendengarkan.
"Dengan kesepakatan rumah tak bertambah. Jika direlokasi, komitmen TNI Angkatan Udara menjamin warga mendapat lahan pengganti yang layak," katanya. Pertemuan lanjutan, katanya, akan segera dilangsungkan. Jika sudah dirumuskan kesepakatan, kata dia, hasil mediasi akan didaftarkan ke pengadilan negeri setempat untuk mendapat kepastian hukum.
EKO WIDIANTO