TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengatakan, pengadilan militer semestinya menjerat para pelaku penembakan tahanan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan lebih berat. Soalnya, kata dia, mereka merupakan alat negara yang melakukan pelanggaran.
"Mereka alat negara yang diberi kelebihan, seperti senjata, tapi menyalahgunakan," katanya saat dihubungi Ahad, 7 April 2013. Tak hanya itu, pengadilan militer dinilai Haris lebih mampu mencari informasi soal tindak penyerangan itu. Sebab, para pelaku merupakan anggota militer.
Namun demikian, Haris menyayangkan pengadilan militer kadang kerap digunakan untuk meringankan hukuman bagi para pelaku kejahatan. Menurut dia, pengadilan cenderung berpihak pada pelaku. Gawatnya lagi, kata dia, hakim pengadilan tersebut juga merupakan anggota militer yang berada di bawah komando panglima. "Jadi di bawah tekanan," ujar dia. Selain itu, pengadilan kurang memberi informasi kepada masyarakat sehingga dinilai tak transparan.
Haris berpendapat bahwa pengadilan umum lebih tepat untuk menghakimi para anggota Kopassus yang merupakan pelaku penembakan itu. Alasannya, kata dia, dalam peristiwa itu, ada unsur terencana dan pelakunya tak hanya dari golongan militer. "Ada polisi yang dianggap tahu, tapi gagal mencegah," kata dia.
Kamis kemarin, tim investigasi TNI menyatakan, ada sembilan anggota Kopassus yang mengaku telah menyerang LP Cebongan. Penyerangan dilakukan atas dasar solidaritas pelaku terhadap Sersan Kepala Heru Santoso yang dibunuh empat orang di Hugo's Cafe, Yogyakarta, pada 19 Maret lalu. Berselang empat hari, empat orang pembunuh Santoso itu ditembak hingga tewas di LP Cebongan.
NUR ALFIYAH