TEMPO.CO , Jakarta:Ujian nasional sebentar lagi akan berlangsung. Tak cuma peserta ujian, guru, orang tua murid, dan seluruh masyarakat ingin kesalahan ditekan sekecil mungkin. Umumnya, siswa yang tak lulus dianggap karena salah menjawab saja atau faktor teknis. Padahal tak jarang mereka gagal karena faktor nontekis, seperti perlengkapan yang mereka pakai.
Managing director Faber Castell Yandramin Halim mengatakan masih banyak siswa gagal hanya karena nonteknis. Data Faber Castell menyebut, pada tahun 2003 di kota Cimahi, 25 persen siswa gagal ujian karena kesalahan nonteknis. "Kesalahan itu bisa saja karena pensilnya salah, salah membulatkan, atau lupa hal lain," katanya dalam peluncuran portal www.latihanujian.com di FX Senayan, Jakarta pada Selasa 26 Maret 2013.
Kesalahan pensil 2B, kata Yandramin, sering terjadi pada pensil yang digunakan peserta ujian, ternyata palsu. Ketika digunakan, isian jawaban yang ditulis dengan pensil palsu itu tidak bisa terbaca di alat pemindai pemeriksa ujian.
Kesalahan lainnya adalah menghitamkan jawaban. "Bisa saja, di pikiran si anak, jawabannya itu A, tapi ketika ia melingkari jawaban, malah B," kata pria berkacamata itu.
Kasus lain adalah ketika seorang anak tidak menghapus dengan bersih bagian yang salah ia lingkari. Ketika dipindai, jawaban anak itu yang terindentifikasi.
Walau begitu Yandaraman yakin pola ujian nasional seperti ini, yaitu dengan memindai akan baik dilakukan. "Di Indonesia itu budayanya banyak. Jadi mepersatukan saat UN ya dengan identifikasi ini. Lagian pola pemeriksaan ini juga masih digunakan oleh Amerika Serikat.”
MITRA TARIGAN
Topik Terhangat Tempo.co: Serangan Penjara Sleman || Kudeta || Krisis Bawang || Harta Djoko Susilo || Nasib Anas
Berita Terkait
Guru: Sistem Rayon Bisa Kurangi Kemacetan
Koalisi Pendidikan Dukung Rayonisasi Sekolah
Ahok Minta Sekolah Prioritaskan Orang Miskin
PTS di Jakarta Minta Tambahan Beasiswa ke Jokowi