TEMPO.CO, Jakarta -Di kawasan Ciledug juga ada Thrynsi Adysti, yang di rumahnya ditampung 13 kucing dan 8 anjing kampung. Suaminya tak berkeberatan rumah mereka dipenuhi hewan-hewan telantar. Kulkasnya pun lebih banyak berisi makanan hewan dibanding makanan manusia. "Kami sih enggak apa-apa makan tahu-tempe, yang penting hewan-hewan itu selamat," kata dia.
Kepedulian Dysti pada hewan bermula sejak kecil. Oleh orang tuanya, Dysti kecil tak pernah dilarang memelihara hewan. Beranjak dewasa, Dysti mulai sering melibatkan diri dalam aktivitas sosial yang bergerak di bidang peduli satwa. Pada Oktober 2010, sarjana sistem informasi dari Universitas Bina Nusantara itu ikut mengevakuasi hewan korban letusan Gunung Merapi. Tak hanya itu, ia juga rutin menggelar kegiatan sterilisasi dan vaksinasi massal untuk hewan, dan membantu proses adopsi mereka. Kegiatan itu kebanyakan digelar menggunakan kocek pribadi Dysti.
Banjir yang menerjang Jakarta pada Januari lalu juga membuat Thrynsi Adysti ikut sibuk. Puluhan pesan, baik lewat layanan BlackBerry Messenger (BBM) maupun situs microblogging Twitter, bertubi-tubi masuk ke telepon selulernya. Isinya serupa: mengabarkan gawatnya banjir Jakarta dan banyaknya hewan yang telantar karenanya.
Adysti kontan panik. Tak menunggu lama, perempuan 26 tahun itu segera mengabari teman-temannya. "Pasukan" ia kerahkan menuju daerah Pondok Karya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tujuan utama Dysti dan kawan-kawan datang ke lokasi banjir adalah menyelamatkan satwa.
Niat mulia itu tak serta-merta berjalan mulus. Banyak orang di lokasi memprotes kenapa ia dan kawan-kawannya dari Jakarta Flood Animal Rescue (JFAR) malah sibuk menyelamatkan hewan, alih-alih manusia. Namun pertanyaan itu ditanggapi Dysti dengan santai. "Kalau manusia kan bisa menyelamatkan diri sendiri. Kalau hewan, gimana?" ujarnya.
Rintangannya bukan itu saja. Di lokasi banjir lainnya, di kawasan Pluit, Dysti dan kawan-kawannya juga kesulitan mendapat pinjaman perahu karet. Beruntung, ada seorang petugas dari Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Utara yang bersimpati, hingga akhirnya sudi meminjamkan perahu karet besar. Perahu itulah yang kemudian jadi modal Dysti dan tim JFAR mengarungi genangan banjir yang tingginya mencapai 3 meter.
Perjuangan belum selesai. Untuk mencapai area perumahan, ia dan tim mesti mendayung selama 1,5 jam. Proses evakuasi biasanya dimulai dinihari pukul 01.30, dan berakhir pukul 09.00. Malam dipilih para penyelamat hewan lantaran tidak mengganggu proses evakuasi lainnya. "Lagian, kalau malam, kami jadi enggak bisa lihat kalau sebenarnya di kanan-kiri kami banyak sampah dan belatung, he-he-he,” katanya.
Tapi, kalau terpaksa, sampah dan belatung pun mereka arungi. Seorang kawannya rela berenang di kubangan banjir demi menyelamatkan seekor kucing liar di Pondok Karya. "Dia sudah enggak peduli kanan-kiri kotoran semua. Yang penting kucingnya selamat.”
Tak hanya itu. Dysti dan timnya juga mesti sabar menghadapi hewan yang hendak diselamatkan. Sebab, hewan korban banjir biasanya lebih agresif akibat stres. Tak jarang, serangan dan cakaran diterima para penyelamat lantaran si hewan emoh dimasukkan paksa ke kandang. “Hewan sebaik apa pun bisa agresif kalau dalam situasi banjir," kata dia.
Untuk “melunakkan hati” hewan-hewan itu, Dysti menggunakan makanan. Makanan ampuh sebagai pemancing karena hewan biasanya kelaparan. "Setelah dia kenyang, baru saya tutup mulutnya dan dimasukkan ke kandang untuk dibawa turun ke darat," ujarnya.
Dari banjir Jakarta Januari lalu, Dysti dan timnya berhasil menyelamatkan lebih dari 40 hewan, yang hampir separuhnya tak bertuan. Hewan-hewan liar itu kemudian ditampung di Rumah Singgah House of Stray, Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, sembari menunggu datangnya pengadopsi.
HERU TRIYONO | ISMA SAVITRI | IQBAL MUHTAROM