TEMPO.CO, Malang - Hujan rintik yang mengguyur halaman Balai Kota Malang tak menyurutkan semangat para perempuan melakukan aksi melawan kekerasan seksual. Tergabung dalam One Billion Rising (OBR) Malang, sekitar 100-an perempuan menggelar aksi flash mob, atau menari bersama, secara kompak dengan gerakan berirama.
Di pinggir barisan penari, sejumlah lelaki membentangkan poster, mengajak orang-orang untuk melawan kekerasan dan pemerkosaan. Poster itu antara lain bertuliskan "Lawan pemerkosaan", "Cinta pakai hati bukan selangkangan", "United to rise", dan "Hentikan kekerasan".
"Kekerasan tak harus dibalas dengan kekerasan, seperti demo," Direktur OBR Malang, Indrie Larasati, Kamis, 14 Februari 2013. "Menari adalah bentuk protes kami."
Aksi yang dilakukan serempak di 200-an negara ini bertepatan dengan Hari Kasih Sayang atau Valentine. Bahkan, koreografi flash mob pun seragam di seluruh dunia. Tiap gerakan dalam flash mob itu, Indrie melanjutkan, memiliki filosofi yang mengajak perempuan bangkit untuk kesetaraan.
Peserta flash mob berasal dari mahasiswa, pelajar, dan ibu rumah tangga. Mereka berkumpul dan berkomunikasi melalui jejaring sosial Twitter. Sedangkan untuk latihannya, mereka hanya memerlukan waktu tujuh hari. "Awalnya kami tak kenal. Kini kami berkumpul bersama melawan kekerasan," kata dia.
Dalam protes flash mob ini, Indrie juga menggalang dana serta kampanye melalui penjualan stiker OBR Malang. Dia mengajak perempuan untuk melawan segala bentuk kekerasan dan pelecehan seksual. Dia juga mengumpulkan beragam komunitas, mulai Malang Diam, Pelangi Sastra Malang, Lensa Mata, dan Malang Stensil.
Usai menari flash mob, mereka membaca puisi serta membentangkan poster. Mereka juga memutar lima film pendek produksi India, Afganistan, dan Indonesia. Tiga film asal Afganistan berjudul Wish, Addi, serta Sky is Nine. Sinema Addi merupakan video pendek situasi perang yang dihadapi perempuan Afganistan.
Mereka juga memutar film Journey to Nagaland. Film ini berkisah soal perempuan muda yang meninggalkan kota kelahiran untuk mencari asal usul keluarga. Lalu ada film garapan sineas Dia Dinata, Semu, yang bercerita mengenai hubungan dua perempuan dengan latar belakang berbeda. Sayang, pemutaran film tak banyak mendapat respon. Peserta aksi memilih pulang.
"Terlalu malam, sebagian harus kembali ke kos," kata Indrie.
Koordinator program dari Lensamata Arief Ahmad Yani mengatakan deretan film itu memberikan gambaran kekerasan yang dialami perempuan di sejumlah negara. Sehingga mampu membuka pikiran perempuan untuk bangkit dan melawan kekerasan. Apalagi, kekerasan bisa dialami siapa saja. "Ini bagian dari kampanye kami," katanya.
EKO WIDIANTO
Berita Terkini:
Rektor Unsoed Diperiksa Jaksa untuk Kasus Korupsi
Bakal Dilamar Prabowo Jadi Cawapres, Apa Kata Jokowi?
Hari Ini Pimpinan KPK Bahas Kasus Anas
KPK Segera Periksa Menteri Suswono