TEMPO.CO, Yogyakarta- Sejumlah kasus mengenai cara media meliput bencana dan mengelola dana bantuan untuk pengungsi, yang terjadi saat erupsi merapi terjadi pada 2010 lalu, menjadi catatan penting dalam perumusan kode etik filantropi media massa. Budhi Hermanto, salah satu inisiator perumusan kode etik itu dari Masyarakat Peduli Media mengatakan berbagai kasus seputar distribusi dana sumbangan untuk korban bencana yang dikelola oleh media, terutama televisi, berkaitan dengan dramatisasi laporan bencana hingga tranparansi dan model pengelolaan bantuan yang jarang melibatkan partisipasi masyarakat.
“Kami menemukan indikasi dramatisasi laporan bencana dipengaruhi pula oleh kegiatan mengelola dana bantuan yang dilakukan oleh media, jadi ini bukan kode etik ini tak berpengaruh pada soal filantropi media saja tapi juga berkaitan dengan konten penyiaran,” ujar Budhi. Dia menjelaskan hal ini saat berbicara di Sosialisasi dan Diskusi Publik Kode Etik Filantropi yang diadakan MPM, PIRAC (Public Interest Researchand Advocacy Centre) dan Dewan Pers di Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada Rabu, 6 Februari 2013.
Budhi memberi contoh ada kasus seperti tindakan reporter sebuah stasiun televisi yang membuat hujan abu palsu untuk mendramatisir kejadian saat bencana erupsi Merapi 2010. Kasus ini memunculkan dugaan ada upaya memperkuat dorongan untuk menarik dana bantuan sebanyak-banyaknya. Meski kasus itu lebih terkesan dilakukan untuk kebutuhan penguatan peningkatan rating siaran, tapi menurut Budhi contoh ini bisa meyakinkan Dewan Pers agar segera menyusun kode etik filantropi media massa. “Kode etik ini penting, sebab ada hubunganya juga dengan konten pemberitaan, misalnya mencegah dramatisasi,” ujar dia.
Dia memberi contoh kasus lainnya, yakni banyak bantuan yang disalurkan oleh media ke korban erupsi Merapi tak melibatkan peran warga dalam proses distribusinya. Akibatnya, kata Budhi, sering ada kasus meningkatnya ketegangan antar warga pasca bantuan datang. Misalnya, dia melanjutkan, ada stasiun televisi memberi sebagian warga bantuan untuk perlengkapan rumah lengkap mulai televisi hingga kulkas. Setelah itu, warga yang tak kebagian terpancing untuk protes karena merasa bantuan tak merata. “Ini namanya bantuan membawa petaka,” ujar dia.
Dia menambahkan masih ada satu klausul yang perlu diperbaiki di kode etik ini yakni pengawasan pada transparansi anggaran bencana yang semestinya membuka ruang seluas-luasnya bagi publik. Pernyataanya itu muncul sebab pada kode etik itu, Majelis Etik Filantropi disebut sebagai satu-satunya yang berwenang mengawasi pelaksanaan kode etik filantropi media.
Ali Sadikin, anggota tim perumus kode etik itu dari Media Group, menyatakan berbagai pengalaman di filantropi media untuk bencana di Jawa Barat, Padang, dan Aceh juga memberikan banyak masukan untuk perumusan kode etik itu. Dia mengaku banyak kritik yang muncul dalam praktek filantropi media selama beberapa tahun terakhir, tapi kegiatan ini lebih baik tak dilarang. “Media, khususnya televisi, merupakan penggerak filantropi bencana yang paling masif pengaruhnya selama 15 tahun terakhir,” kata dia.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM