TEMPO.CO, Yogyakarta- Aktivitas media massa sebagai penggalang kedermawanan sosial masyakarat alias filantropi dikritik sejumlah pemerhati media. Mereka menilai upaya menggalang dana sumbangan masyarakat yang disalurkan melalui media dan menyerahkannya kepada korban bencana bukanlah tugas media massa. Sebab, pengelolaan dana sumbangan oleh media akan membuat media tidak independen dan profesional.
“Mestinya media enggak usah ikut-ikutan mengelola dana sumbangan. Justru liputannya malah eksploitatif,” kata pengamat media dari Masyarakat Peduli Media, Budhi Hermanto dalam sosialisasi dan diskusi publik tentang Kode Etik Filantropi Media Massa di kampus Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Rabu 6 Februari 2013.
Baca Juga:
Contoh liputan eksploitatif yang dimaksud pernah terjadi di beberapa lokasi bencana. Seperti media yang mewartakan informasi jarak luncuran awan panas yang salah sehingga menimbulkan kepanikan warga sekitar lereng Merapi. Contoh lainnya adalah media yang mengekspos kesedihan perempuan yang kehilangan keluarganya usai gempa di Padang.
Saat dana sumbangan telah dikumpulkan media, Budhi pun tak yakin jika pemilik media maupun pengelola dana sumbangan tersebut dapat mengelola dengan baik. Yang terjadi, justru dana tersebut disampaikan kepada korban bencana tidak sesuai dengan kebutuhannya karena tanpa survei kebutuhan terlebih dahulu. Bahkan media berlomba untuk menggantikan nama gedung sekolah atau masjid yang dibangun kembali dengan dana sumbangan itu dengan nama media atau pemilik media terkait.
Anggota Komisi Penyiaran Indonesia DIY, Muhammad Zamroni mengusulkan perlu dibuat yayasan tersendiri yang menampung sumbangan masyarakat melalui media. Sehingga tidak ada lambang dari tiap-tiap media untuk menjaga independensinya.
Kurniawan dari Institut Seni Indonesia, Yogyakarta membeberkan hasil penelitiannya tentang pemberi sumbangan melalui media massa. Bahwa jumlah penyumbang dari institusi hanya 27 persen, sedangkan penyumbang individual 73 persen. Namun, nilai sumbangan dari penyumbang institusi itu mencapai 70 persen lebih. Institusi tersebut tidak peduli soal transparansi media dalam mengelola dana sumbangan. Mereka hanya butuh nama lembaganya dicantumkan sebagai pemberi sumbangan.
Kode etik filantropi media massa sendiri telah ditetapkan dalam rapat pleno Dewan Pers pada 11 Januari 2013. Anggota tim perumus kode etik dari Perhimpunan Filantropi Indonesia, Hamid Abidin menjelaskan, bahwa filantropi media massa tidak hanya menjangkiti Indonesia, melainkan juga media massa di luar negeri.
PITO AGUSTIN RUDIANA