TEMPO.CO, Tasikmalaya - Pola pembelajaran dan rekrutmen siswa di Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) tidak perlu dibubarkan. "Hanya cara-cara diskriminasi pembiayaan. Itu memang harus segera ditanggung pemerintah, jangan dibebankan kepada masyarakat," kata Ketua Harian Dewan Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya, Edeng Zainal Abidin, saat ditemui di Kantor Kemenag Kabupaten Tasikmalaya, Kamis, 17 Januari 2013.
Menurut dia, pola pembelajaran dan rekrutmen siswa RSBI sudah benar. Namun, kalau dibayar mahal oleh masyarakat dan orang kecil tidak kebagian, itu yang tidak benar.
"Itu yang harus dirumuskan. Jadi, mudah-mudahan yang sekarang pola-pola RSBI jangan diubah, tapi kelakuan RSBI-nya dibubarkan," katanya.
Kata Edeng, munculnya label RSBI menyebabkan masyarakat kecil yang memiliki potensi tidak diberikan kesempatan untuk berkembang. "Akhirnya RSBI menjadi teror bagi warga miskin," katanya.
Terlihat jelas faktor diskriminasi kata Edeng, banyak orang tua yang tak memiliki uang batal memasukkan anaknya ke RSBI. "Kecuali secara terang-terangan, ada sekian persen bagi warga tak mampu bisa ke RSBI. Tapi ini kan samar-samar walaupun ada," kata Edeng, yang juga mantan Kepala Kemenag Tasikmalaya ini.
Dengan pola pembelajaran dan pola rekrutmen ala RSBI, kata dia, dapat menjadikan murid-murid di Republik ini menjadi murid yang maju serta ketinggalan dari negara lain.
Kemenag sendiri sudah memiliki sekolah sekelas RSBI seperti MAN Serpong dan MAN Gorontalo. "Kami sebetulnya sudah membuat itu (RSBI), yang masuk ke perguruan tinggi negeri banyak dari MAN Serpong dan Gorontalo. Dan itu pembiayaannya dijamin negara. Seharusnya seperti itu di Kemendikbud," katanya.
Dia mengatakan, murid di MAN Serpong dan Gorontalo dijaring dari seluruh tsanawiyah di Indonesia. Siswa terjaring sesuai dengan kualitasnya.
CANDRA NUGRAHA