TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengakui bantuan atau kompensasi untuk sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi belum maksimal. Menurut Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Mujito, pemerintah saat ini hanya mampu memberikan kompensasi sebesar Rp 35 juta per tahun untuk 450 sekolah.
"Padahal jumlah sekolah inklusi lebih dari 2.000," kata Mujito seusai membuka "Lokakarya Kebijakan Penyelenggara Pendidikan Inklusi" di Jakarta, Kamis, 27 Desember 2012. Untungnya, tak semua sekolah inklusi meminta kompensasi.
Sekolah inklusi adalah sekolah yang menggabungkan layanan pendidikan khusus dan regular dalam satu sistem persekolahan. Siswa berkebutuhan khusus atau penyandang tuna mendapatkan pendidikan khusus sesuai dengan potensinya masing-masing dan tetap belajar bersama siswa reguler.
Saat ini sudah 10 kota atau kabupaten dan satu provinsi yang menjadi pelopor sekolah inklusi. Daerah-daerah itu adalah Rembang (Jawa Tengah), Payakumbuh (Sumatera Barat), Kuningan (Jawa Barat), Lombok Tengah di Nusa Tenggara Barat, Pidie di Aceh, Kulon Progo, Boyolali dan Salatiga di Jawa Tengah, Karimun di Kepulauan Riau, dan Kalimantan Selatan. Di Jakarta, ada beberapa sekolah semacam ini.
Manajer Program Nasional Helen Keller Indonesia, Emilia Kristiyanti, menuturkan kuantitas sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi di Indonesia memang sudah berkembang secara kuantitas dibandingkan dengan negara lain. Tapi, Emilia menilai masih ada berbagai kekurangan seperti sarana dan prasarana serta kualitas pendidikan inklusi. "Sekolah seharusnya mempunyai bangunan, juga sarana dan prasarana yang sesuai dengan ketunaan muridnya," kata Emilia.
SUNDARI