TEMPO.CO, Jakarta - Isu etnis atau keagamaan masih menjadi jualan para politikus untuk menarik dukungan calon pemilih. Isu SARA kerap digunakan dalam ajang pemilihan kepala daerah.
“Dengan akses dan sumber daya yang mereka miliki, elite lokal memiliki kesempatan besar untuk mengarahkan opini,” kata Akbar Susamto, kandidat doktor ilmu ekonomi di Australian National University, dalam acara diskusi Forum Indonesia yang digelar di kampus University of Canberra, Australia, Rabu, 28 November 2012.
Dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu, misalnya, pasangan Jokowi-Ahok didera berbagai isu SARA. Tapi, kemenangan pasangan itu membuktikan tak selamanya isu SARA menjadi momok yang mematikan.
Menurut Akbar, mentalnya isu SARA tak lepas dari peran masyarakat sipil, seperti akademisi, jurnalis, dan aktivis LSM. Suara mereka menjadi penyeimbang sehingga isu SARA yang diembuskan tidak bisa menutupi isu yang jauh lebih penting, yaitu perbaikan penyelenggaraan pemerintahan dan pemberantasan korupsi.
Hal senada disampaikan Stefanus Sampe, kandidat doktor ilmu politik di University Canberra. Ia mengatakan bahwa identitas kedaerahan serta isu-isu etnis atau keagamaan masih merupakan salah satu faktor penting untuk menarik dukungan calon pemilih. Apalagi bila pemilih kurang mendapat informasi tentang jejak rekam calon yang berlaga di pemilihan. “Tapi, bukan jaminan bahwa kandidat yang mengangkat identitas kedaerahan dan isu-isu etnis atau keagamaan akan memenangkan pemilihan,” katanya.
Diskusi Forum Indonesia merupakan kegiatan bulanan yang berlangsung di Canberra dan dipelopori sejumlah mahasiswa Tanah Air yang sedang menempuh pendidikan lanjutan di kota tersebut. Adapun tema yang dibahas merupakan topik-topik hangat yang sedang dibicarakan di Indonesia.
“Kami berharap ide-ide yang muncul dari diskusi ini memberi sumbangan untuk Indonesia yang lebih baik,” kata Ketua Forum Indonesia Ratih Maria Dhewi, mahasiswa program Phd University of Canberra, dalam rilis yang diterima Tempo.
ADEK MEDIA